11. no way

1.3K 163 20
                                    

You are everything in my life

(Kau adalah segalanya di hidupku)

Ije neoreul dugoseo geu nugudo dashi sarang hal su eobseo

(Kini aku tak mampu mencintai orang lain selain dirimu)

•••

"Jimin? Untuk apa kau berada di sini?" Seorang wanita dengan pakaian glamour menyuarakan kebingungannya ketika melihat Jimin berkutat di atelier, atau bengkel kerja.

Setahunya Jimin hanya perlu duduk tenang di tengah-tengah kertas lukisnya, ditemani segenggam grafit untuk menggambar begitu banyak busana. Tapi kenapa sekarang sosok yang dimaksud harus repot-repot menghadapi gulungan kain?

Jimin tersenyum tipis tanpa mengalihkan fokusnya dari kegiatan menggunting bahan di atas sebuah meja besar. Di sekelilingnya ada beberapa karyawan yang membantu.

"Aku bosan, Madame. Hanya sedang menghabiskan waktuku. Lagipula tak lama lagi aku harus merancang haute couture, so ini bukan beban besar," kata Jimin. Bola mata kecokelatannya beralih ke satu lemari kaca dengan tumpukan boks berisi payet. "Mereka semua sangat barbar di mataku," sambung Jimin diikuti tawa renyah bersama wanita itu.

Barbar yang dimaksud adalah payet-payet itu kecil dan sulit diatur. Dan Jimin harus mengurus mereka semua untuk busana haute couture yang perlu dirancang dengan tangan.

Aslinya, wanita dengan julukan Madame di ruangan itu sangat mengagumi Jimin. Pemuda itu sangat teliti, sabar, dan memiliki kreativitas tinggi. Tak salah ia bisa langsung menjadi fashion designer di Gama Fletcher.

"Setelah peragaan keduamu bulan depan, apa kau akan mengambil cuti?" Madame kembali membuka topik. Ia duduk dengan anggun di sebuah kursi tak jauh dari tempat Jimin berdiri, sekaligus mengawasi pemuda yang memunggunginya itu.

Jimin terlihat mengangguk, tapi anggukannya sangat ragu. "Sebenarnya aku harus cuti bahkan sebelum peragaan. Karena pamanku akan menikah akhir pekan. Tapi... Bagaimana dengan pekerjaanku?"

"Kau bisa kembali dua hari setelah pernikahan pamanmu, kan?" Usul sang senior. Jimin bisa saja setuju, sayangnya ia menghela napas. Kemudian menaruh gunting yang sedari tadi digenggamnya ke atas meja.

"Tapi aku tidak ingin pulang," nadanya resah. Jimin berbalik perlahan dan menyandarkan pipi pantatnya ke tepian meja, membiarkan karyawan mengambil alih pekerjaan sementara ia mengobrol dengan Madame.

"Kenapa? Berbagilah denganku, jangan berpikir kau sendirian di sini, nak," Madame tersenyum manis dari tempatnya duduk. Bila saja sebuah pelukan bisa dilakukan tanpa bersentuhan, mungkin sekarang ia akan tampak tengah memeluk Jimin.

Sebagai seorang wanita berusia lima puluhan, sekaligus ibu dari tiga orang anak, Madame cukup peka untuk tahu apa yang tengah Jimin risaukan.

"Aku... Tidak apa..."

Tapi Jimin sangat tertutup.

Senyum maklum bergalur di wajah Madame yang sedikit berkeriput. Ia memandangi lantai beberapa detik untuk menyusun kalimat, agar Jimin mau berbagi beban pikiran dengannya. Memikirkan kata-kata apa yang akan memancing anak-anak zaman sekarang supaya mau berbagi kegalauan.

Tapi ketika Madame kembali melirik Jimin, pemuda itu tampak lesu. Akhirnya Madame memutuskan untuk tidak memaksa. Ia berdiri dan terdengarlah letuk heelsnya ketika ia mendekati Jimin. Ralat, meja adalah tujuannya.

cingulomania | KookminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang