Met baca, semuanya!
Setelah pulang dari rumah Mbak Vini, aku kembali menata beberapa barang yang akan aku kirimkan lewat kargo seminggu sebelum kembali ke Indonesia. Tiba-tiba aku mendengar getar ponselku yang kutaruh diatas meja makan. Ternyata Mama yang menelepon.
"Halo, assalamu'alaikum, Ma!" sapaku.
"Wa'alaikum salam, Mbak. Mbak Dinda lagi apa?" tanya Mama.
"Lagi ngepak barang-barang yang mau dikirim ke Indonesia, Ma. Mama sama Papa apa kabarnya?"
"Alhamdulillah sehat, Mbak. Papa hanya sedikit tinggi kemarin gula darahnya. Bandel diam-diam makan tape oleh-oleh orang tua Mas Raka dari Bandung."
"Aduh, Papa masih suka nakal diam-diam makan makanan yang gak dibolehin, ya, Ma?"
"Ya gitulah Papamu, Mbak. Tapi Mama juga kasihan dia jadi gak bisa makan seleluasa dulu. Oh, iya, Mbak, nanti pulang dari Jerman ke Malang dulu, kan?! Nanti ke sininya sama Mas Raka, kan?"
"Iya, Dinda ke Malang dulu, Ma. Masih ada waktu libur selama seminggu sebelum masuk kerja lagi. Tapi nanti Dinda sendiri kayaknya gak sama Mas Raka."
"Lho?! Mas Raka sendiri yang bilang sama Mama mau pulang bareng kamu."
Sebenarnya aku belum ada omongan apa-apa dengan Mas Raka terkait kepulanganku ke Malang. Dia memang sudah tahu tanggal kepulanganku ke Indonesia dan rencana akan ke Malang dulu karena aku harus mencari tempat kos baru di Jakarta. Tempat kosku yang sebelumnya sudah kuputus dan waktu aku hubungi lagi pemiliknya ternyata sudah penuh. Sekarang aku sedang meminta tolong kepada rekan-rekan kerja di Indonesia untuk mencari tempat kos baru yang dekat dari kantor.
"Oh, iya, Mas Raka sudah menyewakan apartemen di daerah Salemba untuk kamu tinggali. Dekat dari kantor kamu." Aku makin kaget dengan berita yang diberitahukan Mama. Buat apa Mas Raka menyewakan apartemen untukku. Dia sendiri juga tinggal di rumah kos. Gajiku di Global Goals juga tidak akan cukup untuk membayar sewa bulananya. "Nanti setelah menikah kalian akan tinggal di sana, jadi Mas Raka sekalian saja menyewa. Sebelum kalian menikah kamu saja yang menempati."
Hah?! What did I miss?! Aku dan Mas Raka sama sekali belum berbicara mengenai pernikahan sama sekali. Tapi kenapa Mama bisa bicara seperti itu.
"Ma, jujur Dinda gak mengerti maksud dari omongan Mama."
"Lho?! Memangnya kamu gak ada omongan sama Mas Raka. Mama pikir kalian sudah bicara dan setuju. Jangan-jangan kamu juga gak tahu lagi kalau kalian akan menikah Januari nanti?!"
"Gimana, Ma? Nikah? Januari?" Aku benar-benar kaget kali ini. "Ini kok Dinda gak tahu sama sekali?!"
"Iya, kalian akan menikah awal Januari nanti sesuai dengan hitungan yang sudah dihitung oleh tetua di keluarga. Bapaknya Mas Raka sakit komplikasi, Mbak. Sebelumnya ginjalnya yang kena sekarang jantungnya juga. Jadi kami ingin kalian menikah segera. Kan waktu kamu pergi ke Jerman dulu, kalian sudah bilang akan menikah saat kamu pulang. Jadi kami di sini langsung mempersiapkannya untuk kalian."
"Ma, memangnya Mas Raka gak pernah bilang, ya kalau kami belum menyepakati apa-apa terkait pernikahan? Dinda belum punya perasaan apa-apa sama Mas Raka, Ma!"
"Mas Raka sudah menyetujui rencana kami, Mbak. Kalau masalah cinta, nanti setelah kalian menikah juga pasti bakalan ada, kok."
Klise. Pernyataan kalau cinta akan tumbuh setelah menikah itu terdengar sangat klise bagiku. Belum tentu ada. Sudah dua tahun aku berusaha menghadirkan itu untuk Mas Raka nyatanya belum sama sekali aku rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
In A Rush (Selesai)
ChickLitAdinda Kinanthi jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Aditya Ranggasena. Dia menyukainya beberapa tahun tapi tidak pernah melakukan pendekatan lebih dari rekan kerja. Padahal dia satu-satunya harapan Dinda untuk keluar dari perjodohan dengan Rak...