Bab 10

5.5K 764 65
                                    

Met baca, semuanya!


Aku masih ingat beberapa tahun lalu saat aku sedang merencanakan kelanjutan sekolahku di tingkat perguruan tinggi. Aku, Mama dan Papa mendiskusikannya di ruang keluarga rumah kami di Malang sebelum aku memilih program studi di Universitas.

"Dinda punya cita-cita jadi guru kimia, Ma. Boleh, ya Dinda ambil itu untuk pilihan pertama?" pintaku pada Mama.

Pendapat Mama di keluargaku sangat penting karena pendapat Mama-lah yang banyak mempengaruhi keputusan-keputusan penting di keluargaku. Keputusan Mama biasanya juga keputusan Papa. Papa yang cenderung pendiam biasanya cenderung mengikuti keputusan Mama. Meskipun jika tidak sependapat Papa pasti akan mengutarakannya. Tapi mereka berdua hampir selalu sependapat.

"Jangan jadi guru, Mbak. Susah kamu kalau jadi guru," ucap Mama.

"Tapi, Ma, Bulik Ranti baik-baik saja bekerja sebagai guru." Aku masih berusaha membujuk Mama.

"Kalau kamu bisa jadi PNS seperti Bulik Ranti, ya mungkin hidup kamu bisa enak. Tapi coba kamu lihat itu bapaknya teman SMA kamu, Ainun, harus ngajar ke beberapa sekolah karena hanya jadi guru honorer."

"Tapi kan belum tentu Dinda juga seperti itu, Ma."

"Sudah cari jurusan yang bisa kerja di rumah sakit saja yang peluang kerjanya lebih besar. Jadi dokter gitu, Mbak. Kamu kan pintar. Sayang kalau hanya jadi guru."

Bukannya karena aku pintar makanya aku sebaiknya menjadi guru. Biar anak-anak lain juga bisa ikut pintar.

Aku takut darah jadi tidak mungkin bekerja menjadi dokter atau perawat.

"Dinda gak mau jadi dokter, Ma."

"Ya sudah kalau gak ambil Gizi saja itu, Mbak. Seperti anaknya Pak Mardani. Sudah masukkan saja pilihan itu! Ambil di kampus yang gak jauh dari rumah saja, Mbak. Unair dan Brawijaya."

Ketika Mama berucap seperti itu, berarti itu sudah keputusan mutlak. Dan yang aku bisa lakukan hanyalah mengikutinya.

"Mbak, insyaallah kalau Mbak nurut sama kata orang tua, semuanya pasti dimudahkan. Karena restu orang tua itu adalah restunya Allah." Kali ini Papa yang berucap.

Memang sepanjang hidupku aku selalu mengikuti apa yang diminta oleh orang tuaku dan sejauh itu semuanya berjalan baik sehingga membuatku selalu berusaha menuruti perkataan kedua orang tuaku. Aku merasa aman saat menuruti perkataan mereka.

Meskipun aku berharap suatu hari akan ada dimana aku bisa mengungkapkan keinginanku dan bisa mereka restui.

"Din!" Suara Mas Vidi membuatku tersadar dari lamunanku. Kami berdua masih duduk di pinggir sungai Main.

"Iya, Mas."

"Ini hari terakhir kita bisa nikmatin Jerman. Let's enjoy our last day in this dream!"

Dia lalu bangun dan mengambil tanganku lalu menggenggamnya, mengajakku berdiri dan berjalan.

Kata-katanya membuat hatiku tersengat dan air mata perlahan terbit di mataku. Jika benar ini mimpi, bisakah aku terus tertidur supaya aku bisa terus di sini. Lalu aku segera menghapus air mataku sebelum Mas Vidi tahu.

"Aku mau ke jembatan itu, Din. Abis itu balik ke Altstadt lihat rumah-rumah tuanya. Tadi belum, kan?! Aku juga mau foto di depan lambang Euro di depan Euro Tower. Kalau kamu mau kemana?"

Tadi kami sebenarnya sudah lewat ke daerah Altstadt-nya tapi kami memutuskan untuk pergi ke pinggir sungai dulu.

"Ikut Mas Vidi aja."

In A Rush (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang