Ekstra Part 2

5.2K 612 65
                                    

Halo, masih ada gak, ya, yang nungguin ekstra part cerita ini?

Selamat membaca curahan hati Mas Vidi yang merasa sudah menemukan puzzle of his heart-nya!


Vidi's POV part 2

Lately, gue merasa ada Dinda agak lesu dan sendu meskipun dia masih menikmati perjalanan ke kota-kota yang kami singgahi. Jujur gue khawatir dia sakit atau kenapa. Tapi syukurlah ternyata dia lagi galau karena mau balik ke Indonesia. Dinda masih merona ketika gue goda jadi gue rasa dia baik-baik aja. Mungkin dia harus lebih banyak gue goda biar lupa sama semua kegalauannya.

Wajar sih buat dia yang udah dua tahun tinggal di sini. Pasti dia udah mulai terbiasa sama rutinitasnya di sini. Apalagi dia tinggal di negara yang sistemnya sudah terstuktur rapi kayak Jerman. Hidup sudah pasti nyaman di negara-negara maju seperti Jerman dan Inggris.

Waktu gue berangkat dari Inggris ke sini sih gue gak merasa mellow sama sekali. Mungkin karena cuma setahun dan gue cuma merasakan tiap musim di sana satu kali doang. Jadi ya gak terlalu terasa. Tiga bulan tuh kayak lewat gitu aja. Gue lebih fokus sama study gue dibandingkan memperhatikan musim. Bagi gue yang penting hari ini hujan apa engga dan suhunya berapa. Udah gitu aja.

Hari ini kami semua akan meninggalkan Stuttgart menuju Frankfurt, kota yang kami pilih untuk memulai perjalanan pulang ke Indonesia. Sebenarnya lewat Stuttgart juga bisa tapi mereka harus mengurus Surat Keteranngan Pulang Habis terlebih dahulu di Konjen Indonesia yang ada di Frankfurt.

Dan di kota Franfurt inilah terjadi hal yang sama sekali tidak gue bayangkan terjadi. Gue dan Dinda harus tidur di satu kamar yang sama karena kedua anak kembar Kak Vini dan Mas Adit rewel. Rayhan dan Rayyan sulit tidur tanpa keberadaan kedua orang tua mereka.

Semuanya bermula ketika sekitar pukul satu dini hari saat Dinda mengetuk kamar yang ditempati gue dan Mas Adit memberitahu kalau Rayyan rewel karena tidak tidur dengan ayahnya. Rayyan juga sepertinya kurang enak badan.

"Tuh, Masnya juga sama gak bisa tidur nyariin ibunya terus," beritahu gue pada Dinda.

Dinda menggaruk-garuk kepalanya. Dia pasti sedang dilema sekarang.

"Kamu pasti lagi mikir yang sama kayak aku kan, Din? Mereka belum pernah pisah tidur. Kakak sama Mas Adit pasti gak kepikiran."

"Ya sudahlah, Mas. Kita gak punya pilihan lain. Mas Adit sama Rayhan biar ke kamar Mbak Vini saja. Tempat tidurnya twin, kan?" tanya Dinda.

"Iya, nanti bisa aku geser."

Setelahnya Dinda pergi kembali ke kamarnya untuk mengambil barang-barangnya. Dan gue memberitahu Mas Adit mengenai pertukaran ini.

"Jangan macam-macam, ya, Vid!" pesan Mas Adit sebelum gue membantunya membawa koper ke kamar yang tadi ditempati Dinda dan Kak Vini.

"Ck!" gue berdecak mendengar pesan Mas Adit. "Gue tahu, Mas. Mantan gue udah ngasih pelajaran yang berharga banget. Gue gak akan ngikutin jejaknya dia."

Karena itu gue berusaha banget meminimalisir berada di kamar berdua dengan Dinda. Gue tertarik dan sudah jatuh cinta sama dia. Untuk yang gak jatuh cinta aja setan bisa dengan mudah melancarkan godaannya apalagi buat gue yang sudah ada rasa. Gimana pun cinta itu terkait dengan nafsu.

Makanya pas gue kebangun buat salat subuh gue memilih keluar kamar tanpa membangunkan Dinda. Gue takut mendadak tergoda melihat dia tertidur dan ternyata ada bagian dari bajunya tersingkap. Gue cowok normal dan umur segini udah kepingin lah merasakan surga dunia yang dibicarakan oleh orang-orang.

Dan ternyata godaan itu harus diperpanjang ketika Dinda bilang kalau tidak ada lagi kamar yang tersedia di hotel ini. Gue cuma bisa berdoa mohon dikuatkan pertahanan diri gue.

In A Rush (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang