"Kakak cantik, kenapa Kakak ada di sini? Dan kenapa Kakak cantik kenal sama Om Chiko?" tanya Kim sembari memeluk boneka sapi yang diberikan ayahnya kemarin."Ibu Kakak sedang sakit, makanya Kakak menangis," jawab wanita yang berada di samping Zayyan. Katakanlah dia calon istri Chiko. "Lalu, kenapa kalian di sini? Bukannya ini rumah sakit?"
Memang, hari ini Kim dan Zayyan ikut bersama Chiko. Bukan tanpa alasan, karena ayah dan bunda mereka sedang pergi ke Bali untuk beberapa kerjaan. Jadi Chiko harus mengurus kedua ponakannya untuk sementara waktu.
"Abang mau jenguk Ibu Kakak cantik," sahut Zayyan.
"Ouh iya, apa Adek sama Abang bisa masuk ke dalam?"
"Tentu saja sayang," jawabnya lembut. "Tapi Ibu Kakak, lagi diperiksa dulu sama dokter, kalian mau menunggu 'kan?"
"Kami mau menunggu Kak, karena kami juga ikut Om Chiko." Lanjut Zayyan layaknya orang dewasa.
Calon istri Chiko tidak begitu kaget saat berinteraksi dengan Zayyan dan Kim. Dia sudah tahu betapa pintarnya kedua anak itu saat berbicara.
"Kakak cantik, kapan Om Chiko bakal menikahi Kakak?" tanya Kim lagi.
"Eung ... apakah tidak ada pertanyaan lain selain itu, Dek? Jujur, Kakak masih belum tahu, Om kaliannya juga masih sibuk ke sana ke mari untuk menyelesaikan projek kerjaan,"
"Apakah masih lama? Adek udah gak sabar, ih Om ini kenapa mentingin kerjaan sih!" Kim mulai merengek tidak jelas. "Adek maunya Kakak cantik nikah sekarang aja, apa tidak bisa?"
Zayyan yang mendengarnya langsung menoyor kepala adiknya. "Denger ya, pernikahan itu gak bisa dadakan, Dek! Kamu kira apaan, perlu ada pertimbangan dari keluarga Om Chiko sama Kakak cantiknya juga."
Kim sangat senang jika ada teman, salah satunya calon om Chiko. Dia juga seperti anak-anak lain yang selalu cerita mengenai pesta pernikahan. Meskipun setiap ada keramaian Kim selalu diam, tapi setidaknya ada cerita yang teman-temannya perlu tahu.
"Benar apa kata Abang kamu Dek, pernikahan butuh persiapan yang banyak. Butuh persiapan lahir dan batin." Jelasnya sembari mengelus kepala Kim yang rupanya dia sudah mengantuk.
"Kakak cantik, rupanya Adek mau tidur, kasih dia minum susu dulu sebelum tidur," ucap Zayyan setelah menyadari mata Kim mulai merah karena ngantuk.
Kim diberikan susu tanpa gula. Dia menghabiskannya terlebih dahulu, kemudian tidur di pangkuan calon istri Chiko.
"Memangnya Adek selalu begini ya, Bang?"
Zayyan mengangguk kemudian berkata. "Iya Kak, Adek selalu minum susu dan selalu manja kalau deket sama Bunda."
"Abang, kalau mau tidur juga boleh kok, tapi di sebelah kiri aja, ini paha Kakak masih bisa dijadikan bantalan,"
"Nggak ah Kak, nanti Kakak cantiknya keberatan, Abang nunggu Om Chiko aja sambil duduk gini." Jelas Zayyan dan langsung memakan kembali snack yang sengaja bawa dari rumahnya.
15 menit pun telah berlalu. Chiko datang setelah urusan bersama dokter penyakit dalam selesai. Di situ dia bisa melihat begitu kewalahan nya saat calon istrinya menjaga si kembar.
"Sayang maaf ya lama, tadi banyak yang harus ditanda tangan," ucap Chiko.
"Iya gapapa, makasih juga ya karena udah mau urus biaya pengobatan Ibu," lanjutnya merasa tidak enak hati.
"Sudah kewajiban aku untuk membantu, lagian Ibu kamu sudah aku anggap sebagai Ibu kandungku sendiri."
Chiko memang selalu memperlakukannya dengan baik, apalagi dia sudah merasakan sakitnya kehilangan dua orang sekaligus.
Setelah mengobrol sebentar, Chiko mengajak calon istrinya ke dalam ruang rawat dengan posisi menggendong Kim yang masih tertidur pulas.
"Nak Chiko, itu keponakan kamu ya?" tanya wanita paruh baya dan langsung diangguki oleh Chiko.
"Salim dulu sama Nenek, Bang." Perintah Chiko pada Zayyan.
"Gimana Bu, sudah merasa baikkan?"
"Alhamdulillah, hari ini Ibu merasa seger banget, Nak."
"Ibu mau apa? Biar aku suapin," tanya sang anak.
"Ibu cuman mau ngobrol sebentar sama kalian, boleh?"
Chiko bersama calon istrinya saling menatap satu sama lain. Pikir mereka, kalau sudah begini pasti ada hal yang penting.
"Bukannya Ibu memaksa buat, Nak Chiko terburu-buru. Tapi, Ibu hanya ingin melihat putri Ibu menikah dan hidup bahagia. Ibu yakin, Nak Chiko anak baik dan bertanggung jawab, Ibu merasa Nak Chiko adalah orang yang tepat untuk putri Ibu. Jadi, kapan kalian siap untuk menikah?" tanyanya to the poin.
Melihat Chiko diam, wanita paruh baya di depannya kembali berkata. "Nak Chiko, tidak perlu menjawab detik ini juga. Tolong pikirkan lagi aja gapapa, pesta pernikahannya tidak perlu yang mewah mending uangnya ditabung saja untuk masa depan kalian, Ibu melihat akad kalian saja sudah bersyukur."
"Tapi, Bu ... Mas Chiko nya lagi bener-bener sibuk dulu, Ibu jangan berkata seperti itu dulu ya ..." ucapannya tiba-tiba terpotong oleh sang ibu.
"Ibu hanya ingin melihat kamu akad, kalau sama Tuhan diberikan kesempatan."
"Saya bakal menikahi anak Ibu pukul delapan besok pagi,"
"Mas, pernikahan bukan untuk dipermainkan, harus ada persiapan yang matang,"
Chiko menatap calon istrinya lalu tersenyum. "Aku sudah menyiapkan semuanya, jadi tolong kamu tenang aja ya. Kabulkan apa permintaan Ibu kamu, oke?"
"Serius, Mas?"
"Saya atas nama Chiko Bimantara, serius akan menikahi Serena di depan sang Ibu." Tegas Chiko tanpa ada ragu sedikitpun.
"Sekarang, kami izin pulang dulu ya, assalamualaikum." Lanjut Chiko seraya menenangkan Kim yang sudah menangis karena merasa posisi tidurnya tidak nyaman. "Kita menikah di sini."
Sampai Chiko dan kedua ponakannya pergi, Serena masih menatap ke arah pintu keluar dengan tatapan tidak percaya. Sebenarnya Serena menunggu waktu di mana dia akan menjadi suami Chiko, tapi memang boleh secepat ini? Yang pastinya, Chiko paham apa kemauan ibu Serena.
***
Di dalam mobil, Kim masih terus menangis. Zayyan yang melihatnya kebingungan.
"Dek, jangan nangis terus dong, kasian Om Chiko nya,"
"Adek, mau apa, heum? Biar Om belikan, jangan nangis lagi ya, nanti kamu nya jadi capek," bujuk Chiko kepada Kim.
"Adek mau Bunda ... Adek pengen sama Bunda." Teriak Kim seraya memukul-mukul dada milik om nya.
"Iya nanti Adek ketemu Bunda, kan Bunda nya lagi ada kerjaan dulu di Bali, sayang. Besok pagi Bunda pulang bareng Ayah, Adek mau video call Bunda?"
"Ndak mau, Om. Adek mau Bunda!" Lirih Kim yang kemudian menidurkan kepalanya tepat di dada Chiko. "Adek mau Bunda ..." lirihnya sekali lagi, posisi Chiko semakin sedih saat melihat keponakannya menangis, Kim benar-benar tidak bisa jauh dari sang Bunda.
Setelah sampai di rumah, saat itu juga Kim berhenti menangis. Zayyan berjalan mandiri beda halnya dengan Kim yang masih digendong.
"Abang kita duduk di ruang tengah dulu ya, biar Om bikinin susu dulu buat Abang sama Adek,"
"Oke Om."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Hearts, One Sorrow (END✓)
Short StoryTidak akan membiarkan mereka merasakan kesedihan ini, tapi jangan biarkan kesedihan ini menguasai diriku juga.