Hingga malam pun telah datang. Tapi, di meja makan hanya ada Helena, Zayyan, dan Kim saja. Malam ini Bimantara tidak ikut makan malam bersama mereka.
"Nda, Ayah di mana? Kenapa gak ikut makan malam?" tanya Kim yang sejak tadi terdiam.
"Malam ini Ayah pulangnya agak telat sayang, karena banyak kerjaan juga di kantor," jawab bunda.
"Kalau Om Chiko? Kakak cantik? Mereka kenapa gak ke sini?"
"Kim sayang, Om Chiko sama Kakak cantik 'kan sudah menikah, mereka pun sama punya kesibukannya masing-masing,"
"Semua orang dewasa sibuk! Adek gak suka!" Lanjut Kim kecewa.
Mereka bertiga menikmati makan malam. Meskipun Kim sedikit cemberut, beda halnya dengan Zayyan yang terlihat biasa saja.
Sementara di sisi lain, Bimantara sedang berada di ruangan meeting. Pria dewasa itu sangat fokus pada apa yang akan dikerjakan oleh perusahaannya nanti, projek besar yang berkolaborasi dengan perusahaan besar dari Singapura.
"Sepertinya meeting malam ini harus selesai lebih cepat," ucap seorang pria yang berada di dekat Bimantara.
"Apa maksudmu? Ini meeting penting, kita harus menyelesaikannya saat ini juga," tanya Bimantara seraya menatap ke arah pria tersebut. "Jangan ada yang dinanti-nanti."
"Pak direktur yang terhormat, kami tidak bisa meeting dalam keadaan pikiran, Pak direktur kosong,"
"Ouh sorry ... saya sedang memikirkan keluarga kecil saya di rumah, pasti malam ini mereka makan bertiga tanpa saya,"
"Kalau begitu, gimana kalau lanjut besok saja? Sesuatu yang dipaksakan tidak baik, Pak." Sahutnya lagi.
"Tidak, saya gapapa kok. Mari lanjut lagi biar selesainya tidak larut malam."
***
Malam semakin larut, dan jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 : 30. Bimantara yang baru saja pulang dari kantornya, langsung melangkah masuk ke dalam kamar dengan tertatih mendekati tempat tidur. Saat itu juga, dia bisa melihat istrinya lebih dekat yang sedang tertidur tanpa selimut.
"Sayang, kamu gak pakai selimut karena biasanya aku 'kan yang memakaikannya?"
Mendengar ucapan Bimantara barusan, membuat Helena terbangun dan mendapati wajah suaminya yang terlihat begitu pucat. Helena terkejut, sampai mengucek matanya berkali-kali, dia pun menangkup kedua pipi Bimantara yang dipenuhi oleh keringat dingin.
"Sayang, apa kamu baik-baik saja?" Helena berkata seraya bangun dari posisi tidurnya.
Karena melihat Bimantara yang rupanya sulit untuk bergerak, Helena berinisiatif membantu. Keterkejutan Helena, semakin menjadi-jadi saat melihat bagian dada suaminya bercucuran darah.
"Sayang, apa yang sudah terjadi pada kamu, heum? Katakan sekarang, aku khawatir."
"Kalau begitu, kita pergi ke rumah sakit sekarang."
Bukan jawaban yang Helena dapatkan, tapi sebuah gelengan kepala dari Bimantara.
"Sayang, kalau Zayyan sama Kim tahu, mereka akan khawatir. Ini luka serius,"
"Maaf ..." lirih Bimantara. Dia menahan tangan Helena agar istrinya tidak beranjak pergi.
"Ini luka robekan, kita harus ke rumah sakit," ucap Helena panik.
"Aku bilang, aku tidak mau. Tolong ikuti apa perkataan suami kamu ini."
"Kalau begitu, izinkan aku menelpon dokter keluarga kita," sahut Helena yang masih belum dapat persetujuan dari suaminya.
Kali ini Helena pasrah, memang Bimantara itu keras kepala. Sudah tahu luka parah, malah melarang ini itu. Jadi, tidak ada pilihan lain selain mengiyakan.
"Baiklah, suamiku yang keras kepala." Putus Helena yang kemudian mulai mengobati luka tersebut.
"Ayok buka kemeja kamu, sayang. Bisa 'kan buka sendiri?" tanya Helena terdengar santai namun sangat menjengkelkan.
"Susah, apa kamu tega melihat suami kamu seperti ini? Bagaiman kalau aku meninggal?"
"Jangan ngawur kalau bicara. Tanggung jawab kamu masih banyak, Zayyan dan Kim masih kecil, apa kamu tega melihat aku kesusahan mengurus mereka?!" tanya Helena yang kemudian membuka kemeja hitam yang dipakai Bimantara.
"Aku khawatir tahu kalau kamu kayak gini tuh ... ini bukan sekali dua kali, tapi lumayan sering,"
"Buktinya aku masih hidup, kamu jangan terlalu memikirkan yang belum terjadi. Karena itu membuat kamu capek, dan takut sendiri."
Bukannya terpana melihat perut kotak-kotak suaminya, Helena malah salah fokus pada bagian lengan.
"Mas, ini lebam kenapa lagi? Kamu berantem?" tanya Helena.
"Tidak usah diobati kalau sekiranya kamu banyak bertanya, sayang ..."
"Kalau anak-anak tahu, pasti mereka bakal khawatir, terus memarahi kamu,"
"Jangan nyampe mereka tahu, aku paling gak suka kalau hal itu terjadi."
Setelah mengobati luka, Helena membantu Bimantara untuk memakai baju. Dirasa sudah aman, Helena pun kembali tidur di samping suaminya.
***
Sinar mentari mulai terlihat. Bimantara bangun lebih dulu dibandingkan Helena yang masih memeluk lengan Bimantara.
"Kamu pasti kelelahan karena tadi malam ngurus aku, iya kan?" tanya Bimantara dalam hati.
Tidak lama dari situ, Helena menggeliat dan langsung menatap ke arah suaminya.
"Aku kesiangan," ucapnya pelan.
"Gapapa, kamu 'kan hari ini gak shalat, jadi mau tidur nyampe siang pun silakan," jawab Bimantara seraya merapikan rambut Helena yang terlihat berantakan.
"Kalau aku bangun siang, anak-anak gimana?"
"Kan ada Mbak Mawar yang ngurus mereka, lagian anak-anak pasti paham kok."
"Bunda ... Ayah," mendengar teriakan dari salah satu anaknya membuat Helena langsung turun dari tempat tidur kemudian membuka pintu kamar.
"Bunda, Ayah mana?" tanya Kim yang langsung memeluk sang bunda.
"Dek, itu Ayah lagi tiduran," sahut Zayyan.
Tanpa basa basi, Helena membawa keduanya untuk menghampiri Bimantara.
"Abang, Adek, kalian jagain Ayah dulu ya, Bunda mau ngambil sarapan buat kita, ok?"
"Oke Nda." Jawabnya kompak.
Saking senangnya, Kim dan Zayyan tidak menyadari kalau ayahnya memejamkan mata untuk menahan rasa sakit. Beda halnya dengan Helena yang menyadari akan hal itu.
"Adek duduknya agak sinian dikit, Abang juga," ucap Helena memberikan arahan.
Sekarang Kim maupun Zayyan sudah duduk menghadap ke arah ayahnya, dengan posisi menekan dagu. Bimantara yang merasa diperhatikan langsung menatap balik ke arah si kembar.
"Kalian jangan menatap Ayah seperti itu,"
"Tadi, Bunda bilang kita harus jagain Ayah, jadi kita berdua gak mau ingkar," jawab Zayyan membuat sang ayah menghela napas.
"Abang sama Adek main saja di sofa, kan biasanya juga seperti itu,"
"Tidak mau," ketus Kim.
"Yaudah terserah kalian saja."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Hearts, One Sorrow (END✓)
Short StoryTidak akan membiarkan mereka merasakan kesedihan ini, tapi jangan biarkan kesedihan ini menguasai diriku juga.