Zayyan dan Kim

452 143 41
                                    

“Nda, lihat deh. Kim menang lomba melukis lagi, kerena kan? Juara satu Bund,” ucap Zayyan yang membanggakan prestasi saudara kembarnya pada sang bunda.

Helena membuka kaca mata, lalu menekan shut down pada laptopnya, wanita berusia 27 tahun berjalan menghampiri kedua buah hatinya yang baru saja pulang sekolah. Helena tersenyum saat melihat piala berwarna emas yang masih dipegang oleh salah satu anak kembarnya, Helena mengajak keduanya untuk duduk di sofa.

“Lomba melukis? Kok, Bunda sama Ayah gak tahu, kalian kenapa gak bilang sama Bunda, heum?” tanya Helena sembari menangkup kedua pipi si kembar.

Kim hanya tersenyum, begitupun dengan Zayyan, mereka tersenyum sembari memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih. Anak perempuan yang baru berusia 5 tahun itu membuka ransel kemudian menyerahkan medali kepada sang bunda.

Sorry Nda, Adek sengaja gak bilang karena ini hadiah untuk Bunda juga Ayah,” ucap Kim lalu menundukkan kepalanya. “ Tapi Ayahnya masih sibuk bekerja,” lanjutnya.

“Abang juga punya sesuatu untuk Bunda,” sahut Zayyan lalu membuka ransel dan mengeluarkan kotak kecil berisi gelang.

“Abang …”

“Ini untuk Bunda, sorry karena Abang belum berikan hadiah bentuk prestasi kayak Adek Kim,”

“Masha Allah, terima kasih anak-anaknya Bunda, sebetulnya Bunda gak mengharapkan apa pun dari kalian, melihat kalian sehat dan tumbuh menjadi anak yang pintar saja Bunda sudah senang,” Helena berkata dengan penuh kebahagiaan. “Abang dapat uang untuk membeli gelang emas ini dari mana, sayang?”

“Setiap uang yang dikasih Ayah, Abang simpen. Abang pengen seperti Ayah yang selalu memperlakukan Bunda seperti ratu,”

“Lalu, membeli gelang ini ditemani siapa, sayang?”

“Ditemani Om Chiko, kebetulan hari ini Om gak bekerja di luar kota.” Chiko adalah adik kandung dari ayahnya mereka.

Helena tidak pernah menyangka akan memiliki dua anak kembar yang begitu pintar dan perhatian. Di usianya yang terbilang masih dini, Zayyan dan Kim sudah bisa berpikir layaknya orang dewasa, Kim yang pendiam cenderung menutup diri dan akhirnya melahirkan bakat melukis sejak usianya 3 tahun. Sedangkan Zayyan, dia lebih senang di dunia luar dan ingin seperti sang ayah, kerap kali Zayyan tampil dengan menguasai gaya bicara layaknya sedang persentasi proyek besar.

***

Malam pun telah tiba, yang artinya deep talk anatara Helena dan anak kembarnya akan segera dilakukan. Helena selalu membiasakan deep talk bersama anak-anaknya agar Helena tahu, apa saja yang membebani isi pikiran anaknya itu.

“Sayang, semua orang tua pasti menyayangi anaknya. Sama seperti apa yang dilakukan oleh Ayah dan Bunda ke kalian, gak ada orang tua yang tega menyakiti anak kandungnya sendiri,”

“Tapi Nda, Padel tidak punya orang tua, dia tinggal bersama neneknya,” ucap Kim dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, Kim ini memang anak yang perasa.

“Ayah Padel juga selalu marah-marah katanya, gak kayak Ayah yang selalu bahagia kalau didektin Abang atau Adek. Buktinya, Padel gak pernah dianterin ke sekolah, bahkan untuk bermain pun gak pernah,”

“Mungkin karena Ayahnya sedang sibuk bekerja sama seperti Ayah kalian,” ucap Helena berusaha memberikan pengertian.

“Nda, mau sesibuk apa pun, Ayah pasti selalu main sama kita. Kasian banget Padel,”

“Katanya, Bunda Padel juga masih hidup, tapi kenapa gak pernah nemuin Padel? Apa mereka gak sayang sama Padel? Apa karena Padel nakal, sehingga Ayah dan Bundanya enggan menemuinya?”

Helena dengan kenangan masa lalunya yang kelam dapat merasakan bagaimana sakitnya jika ada di posisi Padel. Helena yang kebetulan duduk di tengah dan di apit oleh si kembar, langsung memeluk erat Kim dan Zayyan.

“Teman kalian yang namanya Padel itu, gak nakal sayang. Hanya saja kedua orang tuanya belum siap menemui Padel, karena Padel itu terlalu pintar dan kuat, jadi mereka memantaskan diri dulu. Mungkin untuk saat ini Padel tinggal sama neneknya dulu, tapi suatu saat nanti, dia akan dijemput untuk tinggal bersama Ayah dan Bundanya.”

“Di dunia ini gak ada yang namanya anak dibenci orang tua kandung, mereka sangat menyayangi anak-anaknya. Kalau pun ada, mungkin ada masalah besar yang membuat mereka kebingungan untuk mencari jalan keluar, dan akhirnya seorang anak menjadi korban.” Ucap Helena dalam hati.

Bersambung

Two Hearts, One Sorrow (END✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang