Kring...!
Suara alarm berbunyi nyaring membuat seorang pria yang masih bergulat dengan selimut nya kini terbangun di kamar yang luas bernuansa biru laut itu. Pria yang terbilang mendekati kata sempurna itu bergegas bangun menuju kamar mandi untuk menyelesaikan ritual mandi pagi nya.
Dia adalah Song Seok Jin, pria yang selalu bisa menyembunyikan masalah nya dengan senyuman tulus dari bibir tebalnya itu dan selalu terlihat baik baik saja walaupun sebenarnya tidak, karena ia tidak ingin orang lain yang ada di sekelilingnya merasa iba dan ikut terbebani dengan masalah nya.
Ia pria yang selalu ramah kepada orang lain di sekitarnya, selalu dia terlihat lesu dan ditanya oleh teman di sekitarnya selalu saja jawaban yang sama yang ia lontarkan " aku tidak apa " dengan senyuman yang seolah adalah bukti bahwa dirinya sedang baik baik saja.
Jika di depan publik dia akan menjadi pria yang ramah dan ceria, barbar bahkan pecicilan namun hal tersebut berbanding terbalik saat di rumah, ia akan menjadi pria yang kesepian karena kenyataan apa yang ia lakukan di luaran sana hanya untuk menutupi rasa sepinya saat berada di rumah.
Rumah bagi pria ini bukan tempat nyaman untuk berpulang, tempat mengadu namun rumah bagi nya adalah sumber luka yang baru.
Setelah kegiatan mandi dan memakai seragam telah selesai, seokjin keluar dari kamar menuruni tangga menuju meja makan untuk sarapan sebelum pergi ke sekolah.
Namun niatnya untuk ikut sarapan kedua orangtuanya di urungkan karena melihat sikap hangat kedua orang tuanya itu kepada sang hyung, yang mengiringi sarapan mereka membuat mereka terlihat seperti keluarga bahagia meskipun tanpa kehadiran dirinya sekalipun, seokjin tidak terlalu memperdulikan itu.
Matanya tertuju pada meja makan yang hanya tersedia tiga piring bibimbap saja, tanpa memperdulikan hal itu seokjin langsung beranjak menghampiri seorang paruh baya yang selama ini sangat menyayangi nya melebihi rasa sayang kedua orangtuanya. Dia memberikan bekal itu kepada seokjin.
"Ini bekal untuk tuan muda seokjinie. Jangan lupa dimakan nee, terus ingat jaga kesehatan dan jangan terlalu lelah nee?"
"Nee ahjumma, siap, laksanakan."
"Jungkookie nanti berangkat nya sama appa, nee?" Pinta sang appa kepada jungkook yang kini menduduki kelas 2 SMA itu.
Dari dulu jungkook dan seokjin memang sengaja tidak ingin memasuki sekolah yang sama, semua itu atas permintaan sang appa hingga seokjin pun tidak pernah memberitahukan orang lain jika dirinya mempunyai saudara kembar.
"Jinnie, bagaimana appa?" Tanya jungkook kepada sang appa, seokjin berpikir bahwa apa yang dikatakan jungkook itu hanya berpura pura peduli bahkan keduanya saja jarang hanya untuk saling menyapa.
"Biar seokjin belajar mandiri. Seharusnya jika dia pandai, dia akan naik taxi, sayang. Lagian jungkookie kan, ada ujian nanti takut nya jungkookie telat lagi. Nanti nilainya bisa turun." Balas sang appa seperti sedang menyindir dirinya.
Seokjin beranjak dari tempat duduknya karena taxi yang sudah ia pesan sudah sampai di depan rumah nya, seokjin bukan anak manja dan bodoh seperti yang dianggap orang tuanya.
Seperti itulah yang dialami oleh seokjin, selalu di nomor duakan bahkan tidak dianggap kehadirannya. Seokjin sudah kebal dengan keadaan hidupnya yang seperti ini, hidup yang tidak berwarna diliputi dengan berbagai masalah yang di pendamnya.
Bahkan seokjin tidak membenci takdir yang seperti ini, karena seokjin tahu bahwa kehadiran nya di dunia ini pasti sudah di atur dan direncanakan oleh tuhan kapan dia akan bahagia. Mungkin untuk sekarang seokjin belum mendapatkan nya tapi bahkan kita sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daijōbu
FanfictionJika aku tidak pandai mengambil hatinya, Setidaknya aku pandai dalam menutup luka.