Matahari senja terlihat jelas di cakrawala, angin tenang menerpa wajahku yang pucat. Aku baru saja menyelesaikan sesi kemoterapi beberapa menit yang lalu. Dokter mengatakan kondisiku sedikit lebih baik dibanding sebelumnya. Entah kenapa, kabar itu seolah hanya menjadi formalitas—tak ada rasa bahagia di dalam diriku.
Aku tahu keluarga kandung Aditya pasti lega setelah Oliver memalsukan kematianku tubuh ini beberapa hari lalu.
Oliver kini menguasai sebagian besar dunia bisnis, bahkan melibatkan koneksinya di dunia mafia untuk mencari mayat seorang remaja seumuranku demi menyempurnakan rencana itu. Kadang aku berpikir, ayahku ini benar-benar sosok yang luar biasa.
"Aku hanyalah manusia biasa, Ayah," gumamku dalam hati. "Aku merasakan sakit, baik secara fisik maupun emosional. Perasaan Aditya yang sesungguhnya kadang masih membekas, meskipun jiwa ini adalah Ello. Tubuh ini milik Aditya, sosok yang kuat bertahan di tengah keluarga yang hanya tahu bagaimana menyiksa dan menghancurkan mentalnya."
"Pikiranmu dalam sekali, seperti biasanya," suara Oliver membuyarkan lamunanku. Ia duduk di sebelahku, mengelus lembut rambutku. "Kau memikirkan apa, Nak?" tanyanya.
Aku tersenyum tipis, berusaha memecah suasana. "Ayah ini seperti jalangkung, datang tiba-tiba!"
Oliver tertawa kecil, menyunggingkan senyum narsis khasnya. "Ayahmu ganteng begini kok disebut jalangkung. Tidak pantas sama sekali!"
"Sadar diri, Ayah. Sudah tua, jangan terlalu banyak gaya," godaku sambil menyengir.
Oliver berdiri, merentangkan tangannya. "Sudahlah, ayo pulang. Ayah belikan ayam goreng favoritmu."
"Lima potong ya, Ayah. Aku sedang lapar," balasku sambil mencoba negosiasi.
Oliver menggeleng pelan. "Kebanyakan. Nanti kekenyangan."
"Sisanya buat Rasen dan Aditya," tambahku, sambil menyelipkan senyum tipis.
"Baiklah, lima potong, ya." Ia akhirnya mengalah, lalu merangkul pundakku.
Saat kami berjalan menuju parkiran, Oliver memakaikan kacamata hitam dan topi padaku. Aku memandangnya heran. "Ayah, ini buat apa?" tanyaku bingung.
"Keluarga Pratama memiliki koneksi di rumah sakit ini. Kita harus berhati-hati," bisik Oliver pelan.
Aku mengangguk kecil, mencoba memahami keputusannya. Namun langkahku terhenti ketika melihat sosok Adrian—salah satu kakak Aditya. Ia berdiri di dekat pintu masuk, tampak linglung dan tak terawat.
Oliver, yang melihatnya lebih dulu, menyapanya lebih dulu. "Siang, Tuan Adrian," ucapnya ramah.
Adrian membalas sapaan itu dengan nada datar. "Siang juga, Tuan Oliver."
Oliver tersenyum kecil, lalu menepuk pundakku. "Ayo, Nak. Kita pulang."
Namun, saat aku melewati Adrian, dia menahan pergelangan tanganku. "Kau Aditya Ello Pratama, kan?" tanyanya dengan nada tak percaya, tatapannya penuh kerinduan.
Aku melepaskan tangannya perlahan, lalu menatapnya dengan dingin. "Namaku Aditya Ello. Tidak ada nama Pratama di dalamnya," ucapku datar.
"Tuan Oliver, Anda menculik adik saya!" suara Adrian meninggi.
Ia menarik kerah baju Oliver, namun aku langsung bereaksi. Aku menendang kaki Adrian cukup keras, membuatnya melepaskan pegangan pada Oliver. "Jangan pernah berani menyakiti ayahku," ucapku tegas.
Adrian tampak terkejut, namun tak menyerah. "Kenapa kau memalsukan kematianmu sendiri, Dek?" tanyanya lirih, mencoba mendekatiku.
Aku melangkah mundur, berlindung di balik tubuh Oliver. "Aditya Ello Pratama sudah mati. Dia mati saat kalian semua menuduh seorang anak kecil berusia lima tahun mendorong kakak sulungnya dari tangga. Kalian semua buta, dan melampiaskan amarah kalian pada anak polos yang tidak mengerti apa-apa."
Adrian terdiam. Wajahnya berubah muram, namun aku tak peduli. Sosok lain muncul, tampak seperti pemuda asing di antara Aprian dan Aldo.
"Bang, kenapa lama?" tanya pemuda itu.
Aku mendekat pada Oliver, berbisik pelan. "Itu siapa lagi? Anak angkat mereka?"
Oliver terkekeh pelan. "Sepertinya begitu. Seperti biasa, keluarga mereka mudah sekali menerima orang asing, tapi menyingkirkan keluarga kandungnya sendiri."
"Sudah, Ayah. Kita pulang saja. Aku malas melihat drama murahan ini," ujarku sambil menarik tangan Oliver.
Namun sebelum pergi, Oliver melingkarkan lengannya di bahuku, melindungiku sepenuhnya. "Ingat ini, Tuan Adrian. Aditya adalah putraku sekarang. Jika kalian ingin merebutnya, bawalah ini ke jalur hukum. Ayah kalian sendiri yang menyetujui peralihan hak asuh ini," ucapnya dengan nada penuh kemenangan.
Oliver menggiringku menuju mobil, dan kami pergi tanpa menoleh lagi. Selama perjalanan, aku memejamkan mata, berusaha menghapus bayang-bayang mereka dari pikiranku. Namun, kata-kata Oliver sebelum kami pergi terus terngiang. "Kuharap mereka tahu, merebutmu kembali bukan hal yang mudah."
Revisi:
Tiba di rumah, Oliver menggendongku yang masih pingsan, meskipun sebenarnya sejak tadi aku sudah sadar, hanya malas untuk berjalan. Di kamar, aku merasakan ada yang menyentil keningku, membuat tidurku terganggu.
"Ada apa sih?!" kesalku, sedikit kesal karena terbangun.
"Abang pura-pura tidur ternyata," ucap Aditya, suara ringan namun ada nada kesal di sana.
"Lalu kenapa mengganggu tidurku?" tanyaku dengan sedikit mengeluh.
"Ayah bilang, kita harus bertemu ketiga abangku," ucap Aditya, nada suaranya terdengar cemas.
"Ada orang asing diantara mereka," ucapku, menyadari ada sesuatu yang berbeda di sekitar kami.
"Mereka sudah melupakan aku begitu mudah ya, bang?" suara Aditya terdengar penuh kesedihan.
"Sejak awal mereka tidak menyayangimu. Untuk apa memikirkan mereka lagi? Di sini, kau bebas melakukan apa pun tanpa tekanan dari semua orang," jawabku, berusaha memberi kenyamanan.
"Kenapa ayah melakukan sejauh ini untukku sih, bang?" tanya Aditya, suara ragu di balik kata-katanya.
"Kau putraku. Seorang ayah harus bisa melindungi semua anaknya," jawab Oliver, suaranya penuh ketegasan.
"Ucapan ayah benar, tugas orangtua itu menyayangi dan melindungi anaknya," ucap Rianti dengan lembut.
"Aku kan bukan anak kandung kalian," ucap Aditya, masih merasa ragu dan tak percaya.
"Tidak masalah. Kedua anakku tidak keberatan menambah satu saudara, dan istriku malah senang atas kehadiranmu," jawab Oliver, menenangkan Aditya.
Aditya menunduk, bahunya bergetar. Ya, Aditya memang cengeng, tapi selama ini ia terpaksa didewasakan oleh keadaan. Aku memeluk tubuhnya sangat erat, membiarkan Aditya menangis di pundakku.
"Terima kasih, bang. Aku senang," tangis Aditya, suara terisaknya membuat hatiku terenyuh.
"Sekuat apapun seorang laki-laki, pasti dia memerlukan waktu untuk menangis, Dit. Menangislah sepuasnya hari ini, dan besok tidak boleh ada air mata lagi," ucapku, berusaha menenangkan.
Aditya semakin memeluk tubuhku, terus-menerus mengucapkan kata terima kasih. Aku berusaha menenangkan Aditya hingga akhirnya kurasakan dia tertidur.
Aku melepaskan Aditya dan menidurkannya di sebelahku. Kedua orangtuaku menatapku sejenak, lalu mencoba mendekat untuk menciumku, tetapi aku menghindar.
"Kamu kakak yang baik, bang," ucap Oliver, suara bangga terdengar di sana.
"Istirahat saja ya, kondisimu masih lemah karena kemoterapi," ucap Rianti, dengan lembut.
"Iya, bunda," jawabku.
Aku tertidur di sebelah Aditya. Tak lama, aku merasakan Aditya memeluk tubuhku dan bersembunyi di ketiakku. Ketika aku berusaha melepaskannya, Aditya tidak mau melepaskanku.
Aku membiarkan saja. Lagipula, aku masih belum sepenuhnya sehat. Menurut dokter, wajar jika setelah kemoterapi, tubuhku melemah.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan
Sampai jumpa
Double update biar puas membacanya
Senin 26 September 2022
![](https://img.wattpad.com/cover/317607159-288-k920034.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
General FictionOthello Pranaja Zayan, atau yang lebih akrab dipanggil Ello, adalah seorang pemuda berwajah tegas dengan sifat dingin, minim ekspresi, dan benci terhadap pengkhianatan. Meskipun tumbuh di tengah keluarga yang harmonis, sifat dingin Ello tak pernah b...