16. Lucu atau Panas?

2.4K 395 25
                                    

Bab 16. Lucu atau Panas?

"Jangan tertawa!" Katya menghardik jengkel saat mendengar tawa penuh kepuasan yang Ratih suarakan dari seberang.

Dia baru saja menceritakan tentang insiden gaun tidur yang membuat Alex mengurungnya di kamar mandi.

Bukannya meredakan tawanya, Ratih justru semakin mengeraskan suara tawanya. Tidak menutupi kegeliannya mendengar cerita lucu yang Katya suarakan. Atau panas?

"Aku tutup, nih!" ancam Katya.

"Tunggu... tunggu. Iya, ini diam," sambar Ratih, berusaha amat keras untuk meredakan tawanya agar Katya tidak betulan menutup panggilannya. "Jadi, gagal total?" tanyanya.

Katya mendecap sebal. "Gagal lah!"

"Alex sama sekali enggak kelihatan pengin makan kamu, gitu?"

"Bobro-boro pengin makan aku. Dia tidur nyenyak sepanjang malam," balas Katya masih dengan nada amat jengkel.

Setelah insiden gaun tidur transparan itu, di mana Katya kemudian meminta cium namun hanya diberi kecupan di pelipis. Alex langsung terlelap nyaman. Lelaki itu bahkan bangun sedikit kesiangan. Saking nyenyaknya.

"Tuh, kan, aku bilang juga apa. Udah yuk, balik ke Jerman aja."

Katya menolak mentah-mentah ajakan kepulangan Ratih. "Enggak bisa. Aku masih punya dua puluh satu hari lagi." Dia mencengkeram pagar pembatas di balkonnya dengan satu tangan. Tatapannya terarah lurus ke depan, membiarkan angin malam membelai wajahnya.

Dia baru selesai makan malam dan langsung naik ke kamarnya. Alex belum pulang, katanya akan lembur di kantor.

"Kamu hanya akan semakin terluka, Katya. Bukankah sudah jelas, Alex tidak melirikmu sama sekali. Dia tidak tertarik padamu secara fisik. Nyatanya, dia enggak bernafsu—"

"Atau jangan-jangan Alex impoten?" sambar Katya dengan bola mata membeliak. Karena baru terpikirkan akan hal itu. Lalu, ia cepat-cepat menggeleng. "Enggak mungkin. Ngaco aja, kamu Katya," sambungnya, seolah menjawab pertanyaannya sendiri.

"Sudah yang paling benar kamu balik ke Jerman."

"Enggak, Ratih."

"Keras kepala."

Katya mengulas senyuman tipis, lalu mengedik pelan. "Memang," akunya bangga, atas kekeras kepalaannya.

Ratih di seberang telepon berdecap keras. "Lalu kamu akan merencanakan hal memalukan apa lainnya untuk menggoda Alex?"

"Entah lah, aku belum terpikirkan lagi."

"Saranku—"

"Jangan permalukan dirimu lebih banyak lagi, Katya," ucap Katya, tahu persis apa yang akan dilisankan Ratih. Sebuah permintaan yang memang selalu perempuan itu katakan.

"Nah, itu kamu tahu persis."

"Tapi, aku udah telanjur basah mempermalukan diri. Sekalian dibasahi aja lah, ya, sampai kuyup." Katya tergelak pelan. Dia memang benar-benar mempermalukan diri di depan Alex. Tapi, dia juga tipe yang enggak ada kapoknya. "Besok, aku menari striptis saja di depan Alex?"

"Jangan." Sambar Ratih cepat. "Kamu akan semakin mempermalukan diri. Kamu tahu sendiri, sekaku apa tarianmu di lantai dansa. Coba pakai viagra aja—"

"Oh, obat perangsang. Oke."

"Enggak. Ya Tuhan! Katya aku salah bicara."

Di seberang telepon, Ratih tampak ribut sendiri. Mengutuk kebodohannya yang salah bicara, dan memperingati Katya agar tidak perlu mendengarkannya. Sangat berbeda dengan Katya yang justru tertawa terbahak. Situasi yang berganti dari ketika awal menelepon tadi.

Honey DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang