Apa yang membuatku kesulitan membuka hati? Apa karena dicampakkan laki-laki yang kucintai? Atau diabaikan oleh suami?
Ini bukan sekedar cerita tentang wanita dan laki-laki, melainkan kisah panjang perjalanan hidupku yang penuh dengan ketidakpedulian dan rasa kekecewaan.
"Bu, aku dapat juara 1 olimpiade. Nanti ambilin raporku ya? Kan selama ibu pergi, raporku cuma dititipin ke Bu Dewi."
"Jangan manja, Sinta. Ibu besok harus ke sekolahnya Abimanyu buat tahu perkembangan sekolah adikmu. Kalau kamu kan udah bisa ngambil sendiri."
"Ya, Bu."
Waktu itu usiaku baru 12 tahun. Bukan masanya bagiku untuk mengeluhkan kasih sayang yang timpang di antara aku dan adikku. Tapi, untukku yang baru bisa satu atap lagi dengan orang tua sejak kehamilan ibu yang kedua, aku begitu merindukan perhatian mereka. Namun, tidak ada yang bisa kulakukan selain mengalah.
"Ayah, Sinta pengen lanjut ke MAN yang di kecamatan. Katanya di sana ada beasiswa buat yang sering dapet rangking. Sinta boleh coba daftar ya?"
"Jangan aneh-aneh! Sekolah di deket sini aja yang gratis SPP-nya. Lagian mau sekolah di mana pun hasilnya tetep tergantung siswanya. Adikmu juga kan harus masuk ke pesantren."
"Tapi, Bu. Temen-temen Sinta ..."
"Kamu sekolah dibayarin siapa, Sin? Temen-temenmu atau Ibu sama Ayah?"
"Ya, baik, Bu. Sinta ngikut Ibu aja."
Lagi-lagi aku terpaksa mengalah dan terus mengalah. Sampai di pertengahan kelas 10, aku mulai sadar bahwa tak ada yang bisa kuharapkan dari orang tua untuk pendidikanku selanjutnya. Aku yang suka sekali belajar dan bermimpi bisa kuliah menjadi sangat giat demi merencanakan masa depan. Hingga saat selesai ujian kelas 12, aku lolos kuliah tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Di titk inilah terjadi masalah yang sudah kuperkirakan sebelumnya.
"Habis lulus MA, kamu gak usah kuliah ya, Sinta. Biaya kuliah kan gak sedikit. Meskipun dapet beasiswa, itu gak mesti cukup. Jadi, mending gak usah daripada putus di tengah jalan. Ibu sama Ayah kan masih harus mikir buat biayain sekolah adikmu sampai SMK nanti."
Kali ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk menolak dengan tenang dan berkata dengan penuh keyakinan.
"Maaf, Bu. Tapi, Sinta udah daftar dan lolos kuliah di luar kota. Masalah biaya, Sinta dapet beasiswa."
Reaksi ibu seperti yang sudah kupikirkan, dia marah besar.
"Apa? Kenapa kamu gak bilang-bilang sama Ibu kalau daftar kuliah? Apalagi itu di luar kota. Sinta ... kamu ini kenapa keras kepala sih? Kamu pikir kuliah di luar kota itu biaya sehari-harinya sedikit? Apalagi kalau ada iuran lain-lain? Terus siapa juga yang bakal anter-jemput kamu ke sana? Ayah kan harus kerja!"
Meski begitu, aku berusaha tidak gentar dan sabar.
"Iya, Sinta tahu, Bu. Jadi, Sinta juga gak berharap bisa ngerepotin Ayah sama Ibu. Karena itu Sinta bakal tinggal di asrama dan belajar mandiri. Sinta cuma butuh restu Ayah sama Ibu."
"Gak! Ibu tetep gak boleh! Kamu ini anak rumahan, kenapa tiba-tiba mau tinggal di luar sendirian? Kamu mau jadi cewek liar di perantauan? Pokoknya Ibu gak setuju!"
Mendengar amarah ibu yang kasar, aku hanya bisa meremas tangan seraya menahan sesak. Jika saat itu, ayah tak sedikit membela, mungkin air mataku sudah tumpah begitu saja.
"Bu! Kalau tinggal asrama, Sinta pasti banyak temen dan ada banyak kegiatan belajar juga, jadi gak mungkin putri kita begitu! Apalagi Sinta udah dapet beasiswa kan eman-eman kalau gak diambil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
EspiritualSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...