Part 5 - Kesepakatan 3 Bulan

277 28 2
                                    

Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menyatakan cinta. Entah dengan kata-kata atau tindakan nyata, aku memang lebih suka tipe laki-laki yang melakukan act of service dalam menunjukkan kasih sayangnya seperti Kak Rama. Namun, aku tidak menyangka Gus Asna juga setipe dengannya. Lebih parahnya lagi, semua tindakannya benar-benar di luar nalar. Dan alih-alih senang, aku sungguh sakit kepala dibuatnya.

Astaghfirullah ... jika tidak ingat mengumpat itu dosa, aku pasti sudah melakukannya sejak kemarin dia memohon padaku.

“Aku salah sebelumnya, Sinta. Pernyataan cinta yang buru-buru, memang siapa yang mau percaya itu? Tapi, aku akan terus berusaha, aku akan terus berusaha sampai kamu menerima.”

“Pernikahan kita udah game over, Gus. Mau usaha apalagi? Ini juga jenengan sendiri yang tentuin batas waktunya. Jadi, apa sekarang jenengan mau jilat ludah sendiri?” balasku sengit. Namun, dia masih tetap dengan wajah datarnya.

“Ya, kalau diperlukan kenapa gak? Ini lebih baik daripada aku harus mengingkari akad dengan Tuhan, Sinta ... jadi, lupakan ucapkanku yang ingin pernikahan ini berakhir 2 tahun. Karena sekarang, aku menginginkanmu. Aku akan memperbaiki segalanya ... untukmu.”

“Kalau aku tetep gak mau?”

“Aku cuma bisa bikin keadaan yang memaksamu gak bisa berpisah denganku.”

“Hanya kalau kamu bisa.”

Aku mengatakan hal semacam itu bukan bermaksud untuk menantang, tapi menjatuhkan mental Gus Asna. Siapa yang menduga itu sama sekali tidak berguna?

Tepat 2 hari setelah dia meminta izin umi, aku benar-benar dibawanya pergi.

“Hhhh ...”

Aku menghela napas berkali-kali setelah sampai di tempat bulan madu kami. Benar-benar, kenapa dia harus sampai seperti ini? Aku tak habis pikir.

“Jadi, ini yang kamu maksud mau bikin keadaan yang memaksaku gak bisa berpisah denganmu? Mengajakku ke sini buat bulan madu beneran supaya aku hamil gitu? Wah, akhirnya kamu bertingkah kayak b*jingan ya?” ujarku pelan dan penuh sindirian.

Kami masih ada berada di lobi setelah dia menyelesaikan chek in.

Gus Asna tidak membalas, dia hanya menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa dijabarkan dan itu membuatku lebih kesal.

“Padahal, dulu aku udah menawarkan, tapi kamu menolakku seperti kuman pesakitan. Apa kamu gak ingat?”

Pikiran kami lalu kembali pada saat kami membahas kesepakatan pernikahan.

“Gimana sama hubungan suami-istri? Perlu aku melayani jenengan? Aku gak keberatan karena dalam kitab, istri bakal dilaknat kalau menolak. Cuma, meski gak melakukannya dengan cinta ... aku harap jenengan mau melakukannya dengan baik dan gentle bukan kasar.”

“Aku gak butuh. Kamu pikir aku laki-laki b*jingan yang gak bisa nahan diri? Sinta ... dengar, sekali pun kamu gak pake apa-apa di depanku, aku tetep gak akan tertarik. Jadi, gak usah melakukan hal sia-sia. Aku memintamu jadi istri yang baik bukan buatku, tapi buat abah sama umiku.”

“Yeah, it okay ... aku emang gak cantik, jadi wajar jenengan gak tertarik. Makanya, seperti kata jenengan, ke depan mau aku pake apapun di kamar ini, itu gak bakal ngaruh, kan? Okay. Jadi karena jenengan udah ngucap sendiri, jenengan berarti harus konsekuen juga buat bikin umi sama abah gak nanya-nanya masalah keturunan lagi,” ucapku berjeda.

Hati SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang