Kepercayaan adalah pondasi suatu hubungan. Jika hal itu tidak dibangun dengan benar, bagaimana bisa hubungan itu berdiri dengan kokoh? Dan dalam hubunganku dengan Gus Asna, tidak ada yang namanya saling percaya, apalagi dalam hal cinta.
Aku dan dia sama-sama memiliki cinta yang lain. Jika aku mengharapkan cinta dari Gus Rama, maka dia mendambakan Ning Hajar untuk menjadi istrinya.
Naifnya … ketulusan Gus Asna pada Ning Hajar itulah yang membuatku pernah ingin dicintai olehnya.
“Setengah jam dari sekarang, aku tunggu kamu di ruang tamu. Pakai pakaian yang pantas buat dampingi aku ke acara nikahan.”
Perintahnya suatu hari ketika aku selesai mengajar ngaji.
“Emang siapa yang nikah, Gus? Perasaan umi gak bilang kalau ada undangan. Mana udah malem banget ini.”
“Nanti juga kamu tahu sendiri.”
Aku hanya bisa menghela napas dan menggurutu karena sikapnya yang lebih dingin dari biasanya. Kupikir, itu adalah acara pernikahan teman laki-lakinya yang tidak aku tahu, tapi ternyata … pelaminan indah itu diduduki seorang wanita cantik. Dia tak lain adalah Ning Jamilatun Hajar, orang yang dicintai Gus Asna dan pernah diperkenalkan pada orang tuanya, tetapi menolak menikah dengan alasan ingin menyelesaikan studinya lebih dulu. Dan masa penyelesaian studinya waktu itu masih 2 tahun.
Dua tahun yang menjadi waktu kesepakatan perceraianku dengan Gus Asna merupakan waktu tunggunya untuk Ning Hajar. Tapi, apa yang terjadi sekarang?
Ini bahkan baru 1 tahun pernikahan kami berjalan. Akan tetapi, Ning Hajar justru menikah? Bukankah dia mengkhianati Gus Asna?
“Wah ... Apa ini yang namanya karma? Jenengan menolakku mentah-mentah, padahal aku istri sah. Sekarang, kamu ditolak dengan alasan klasik lalu ditinggal menikah?” sarkasku. Namun, aku tak benar-benar mentertawakan Gus Asna karena aku pun merupakan seseorang yang ditinggalkan kekasihnya.
“Berisik! Kamu cuma perlu senyum manis. Itu gunanya aku ngajak kamu ke sini.”
“Ya, ya, baiklah. Perlu aku sampe akting mesra biar dia makin menderita?” tawarku sembari ingin bergelayut manja di lengannya. Namun, Gus Asna langsung menghindar dan seolah tidak terjadi apa-apa, dia berjalan dengan tenang ke pelaminan.
Ish, sudah patah hati begitu, masih aja beku! dengusku kesal dalam bathin.
Sebenarnya hati Gus Asna terbuat dari apa sih? Batu?
Sementara aku masih dongkol dengannya, Gus Asna sudah sampai di depan Ning Hajar.
“Aku pikir, jenengan gak sudi buat dateng ke sini, Mas. Jadi, aku gak ngasih undangan. Ngapunten, nggeh.”
Ning Hajar menunduk. Tersirat dalam wajahnya sebuah penyesalan. Gus Asna hanya diam dalam waktu yang cukup lama. Beruntung, tamu legang dan pengantin pria pun sedang tidak di tempat. Jadi, tak ada yang menyerobot pembicaraan mereka. Namun, aku yang tidak tahan melihat keadaan mereka yang mengenaskan, mau tidak mau melangkah maju.
“Ya, ngasih undangan atau gak itu hak jenengan, Ning. Tapi, buat dateng ke sini, itu keinginan kita. Jadi … Selamat nggeh. Karena sekarang jenengan udah nikah, Gus Asna bisa jadi milikku sepenuhnya. Makasih loh udah ngelepasin dia.”
Aku sengaja mengatakan begitu seraya bersikap manja dengan menaruh kepalaku di pundak Gus Asna. Ning Hajar melihat kami dengan senyum yang dipaksakan. Aku tahu, dia hanya kehilangan kata-katanya.
Gus Asna yang melihat Ning Hajar seperti itu menggerakkan lengan. Kupikir dia tidak senang dan ingin menyingkirkan kepalaku dari bahunya. Namun, dia justru menggenggam tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
SpiritualSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...