Part 8 - Patah Bersama

241 18 0
                                    

Ibarat nila setitik rusak susu sebelangga. Orang-orang memakai pribahasa ini untuk membenarkan tindakan mereka yang melupakan banyaknya kebaikan orang lain hanya karena kesalahan kecil. Terkadang aku pun begitu, tetapi ada satu pengecualian. Ya, padanya.

Dia, Gus Muhammad Ramadhan Husein … aku tak bisa menghapus fakta perbuatan baiknya padaku meski dia telah melukaiku.

“Aku ngerasa ini gak adil. Temen-temen penulis baru yang aku bantu, semuanya udah nerbitin karya di penerbit mayor. Kenapa aku satu pun gak? Kenapa? Argh, padahal aku yang lebih lama nulis dan ngarahin mereka. Aku kesal! Kesal! Aku kesal sama diriku sendiri …”

“Makanya, jangan lalai.”

Sahutan bernada dingin dari balik rak buku membuatku menoleh. Ketika itu kupikir tak ada orang di perpustakaan ternyata ada senior yang kukenal. Dia, Kak Rama … kami beberapa kali berinteraksi untuk urusan organisasi karena dia lah ketua OSIS di sekolah ini.

Aku yang tadinya menjatuhkan kepala di meja mulai menegakkan diri.

“Aku gak lalai kok. Buktinya meskipun sering begadang buat nulis, nilai ulanganku bagus. Wleee …” balasku sembari menjulurkan lidah.

Kak Rama menghela napas. Dia menutup buku di tangannya lalu memukul kepalaku pelan.

“Aduh …”

Aku mengeluh. Dia duduk di sampingku.

“Bukan perkara itu.”

“Terus apa? Emang aku lalai dalam hal apalagi? Kakak sok tahu ih.”

Kak Rama membuka bukunya dan kembali melanjutkan kegiatan membacanya.

“Aku bukan sok tahu, tapi kamu sendiri yang nunjukin itu.”

“Kapan?”

“Pas nyerahin proposal pelantikan jurnalistik. Kamu buru-buru mau sholat karena baru sempat ngerjain proposalnya habis nulis. Padahal, udah tengah malem. Kalau bukan lalai, apalagi itu namanya?”

Ketika itu aku hanya merasa malu tanpa merasa berdosa hingga aku membalas dengan alibi.

“Kan kalau sholat dulu nanti gak konsentrasi pas sholatnya malah inget pengen nulis mulu. Gak salah kan aku?”

Kak Rama membalikkan lembar bukunya lalu menatapku.

“Gak salah sih. Tapi, malaikat Izrail gak nunggu kamu nyelesain naskahmu buat nyabut nyawa, kan?” katanya dengan sarkas.

Deg!

Hatiku tertegun sejenak. Dia benar. Bisa jadi aku mati sebelum melakukan salat padahal waktu salat sudah tiba. Bukankah jika itu terjadi, aku akan dicatat meninggalkan salat dengan sengaja?

Astaghfirullah, ucapku dalam hati.

“Ternyata aku emang lalai ya selama ini. Pantes aja, hidupku rasanya kurang meskipun novelku populer di platform, tapi gak bisa terbit.”

Aku bergumam pelan.

Kak Rama menatapku.

“Mau aku nasehati sesuatu?”

“Apa?”

“Kalau kamu mau memperbaiki hidupmu, kamu harus memperbaiki sholatmu.”

“Kenapa? Emang dengan sholat seseorang bisa langsung kaya? Gak kan? Novelku juga gak otomatis langsung terbit kalau aku berdoa.”

Hati SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang