Part 2 - Menyerahlah, Gus!

382 34 0
                                    

“Ini aneh. Aku gak tahu apa yang sebenarnya dipikirin sama Gus Asna.”

Nadhifa meletakkan jarum rajutnya lalu menatapku. Sahabat sekaligus teman semasa SMA-ku itu tersenyum lalu melanjutkan kegiatannya. Kunjunganku hari ini ke rumahnya adalah untuk memesan souvernir pre-order novelku yang sebentar lagi dibuka.

“Memangnya apa yang aneh dari suami yang mau mempertahankan pernikahan sama istrinya, Sinta? Kamu ini, ck, ck …”

Aku menghela napas lelah lalu menatap ke arah jendela.

“Kamu yang paling tahu gimana aslinya rumah tanggaku yang 'harmonis'. Tapi, kamu tetep ngomong gitu?” tanyaku.

Nadhifa tersenyum lagi kemudian menatap ke arah langit yang sama.

“Sin, kamu sendiri pernah bilang … gak peduli gimana masa lalu seseorang, masa depannya masih suci termasuk laki-laki. Jadi, mau seberandal apapun dia di masa lalu, kamu mampu menerima kalau dia baik sekarang. Dengan berpegang sama hal itu, aku nerima lamaran suamiku meskipun hatiku ragu. Dan kamu bisa lihat, siapa sangka Kakak kelas kita yang dulunya sangat nakal malah jadi orang yang menghidupkan mushola di sini sekarang?” Nadhifa menjeda kalimatnya sejenak.

“Ya, meski kami harus hidup serba pas-pasan karena suamiku pengen jadiin mushola itu jadi madrasah diniyyah juga. Tapi, Sin ... Aku bahagia. Ini semua berkatmu yang mendukungku untuk percaya sama dia. Jadi, kenapa sekarang kamu gak memberi kesempatan sama suamimu sendiri? Siapa tahu, dia memang udah jatuh cinta? Dua tahun itu cukup lama, Sinta ...”

Aku terdiam setelah mendengar ucapan Nadhifa. Namun, setelahnya aku tertawa.

“Jatuh cinta? Itu gak mungkin.”

“Apa kamu yakin?” Nadhifa melirikku dengan keraguan. Namun, aku menjawabnya dengan mantap.

“Aku sudah memastikannya.”

***


Dini hari tadi, usai Gus Asna mengajakku salat malam bersama … dia menawarkan untuk menyimak hafalanku. Mau tidak mau, aku membolehkannya.

“Kamu termasuk orang yang cepat hafal ya? Baru 2 tahun, tapi kamu udah menyelesaikan lebih dari setengahnya. Apa gak sayang?”

Dia mengatakan itu setelah meletakkan mushaf kembali ke tempatnya. Kami jadi duduk lesehan dan saling berhadapan lengkap dengannya yang masih sarungan, sementara aku memakai mukena.

“Apa yang mesti disayangkan dari menjaga kalam-Nya?”

Aku menatap Gus Asna dengan pandangan meremehkan.

“Ah, jangan-jangan jenengan ngira aku melakukan ini cuma demi jenengan? Ya, Gusti ... Jangan terlalu percaya diri, Gus. Aku melakukannya memang karena ingin. Jadi, gak usah khawatir. Setelah kita berpisah, aku tetap akan melanjutkan hafalanku meski aku gak lagi jadi ning.”

“Itu yang disayangkan, Sinta.”

Deg!

Nada bicara Gus Asna yang berubah datar, entah kenapa membuat hatiku bergetar seiring dengannya yang menatapku dalam.

“Bukankah jika kita berpisah, pondok ini akan kehilangan ning-nya? Kamu gak sayang dengan santri-santrimu?”

Santri‘ku’ katanya? Sejak kapan dia mengakui aku sebagai ningnya dan menjadi bagian dari pemilik pesantren ini?

Aku lalu menatap Gus Asna dengan tegas.

“Bukannya mudah? Jenengan tinggal menikah lagi aja. Sebelum kita berpisah pun, barisan ning udah ngantri untuk jadi istri kedua jenengan. Apalagi kalau kita berpisah? Atau … jenengan bisa kan meminang cinta pertama jenengan? Ning Hajar kalau jenengan gak tahu kabarnya, dia udah pisah sama suaminya beberapa bulan lalu. Jadi, waktunya pas. Gak perlu lagi nunda perpisahan kita, Gus. Dan tenang aja, aku bakal mendukungmu.”

Gus Asna tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan selama beberapa saat.

“Sebesar keinginanmu untuk berpisah, apa sebesar itu juga kamu membenciku, Sinta?” tanyanya dengan nada rendah.

Aku memiringkan kepala menatapnya.

“Dan seerat jenengan menggenggamku, apa sedalam itu juga jenengan jatuh cinta padaku, Gus Asna?” tanyaku.

“Apa kamu sungguh jatuh cinta padaku sampai seerat ini kamu gak mau melepaskanku?” ujarku lagi dengan pelan, tetapi mampu membuat pupil Gus Asna bergetar sebentar.

Pandangannya lalu melunak dan dia menatapku penuh kesayuan.

“Ya, aku jatuh cinta padamu. Jadi, tetaplah sisiku.”

Kalimatnya berat dan pelan seolah itu bukanlah hal yang ingin dia ucapkan.

Aku lalu menatapnya dengan senyum tertahan dan menggelengkan kepala sebagai bantahan.

“Kamu gak jatuh cinta denganku, Gus.”

“Gimana kamu bisa menilainya? Sementara ini hatiku.”

“Karena gak ada orang yang jatuh cinta setenang itu saat mengatakannya. Bahkan Gus Rama gak pernah dengan lantang mengatakan dia mencintaiku. Jadi, gimana kamu bisa?” Aku mencercanya.

Dia meremas tangan.

“Lalu? Bagaimana kamu tahu dia memiliki cinta untukmu?”

“Karena yang dicinta akan bisa merasakannya meskipun itu tidak dikatakan, Gus. Dan aku gak bisa merasakan cintamu. Jadi, hentikan! Kita harus mengakhiri apa yang sudah seharusnya berakhir.”

“Jadi, aku tidak memiliki kesempatan?”

“Menyerahlah!”

Gus Asna tidak menjawab. Kupikir, dia akan langsung keluar dari kamar tanpa mengatakan apapun. Namun, yang dia lakukan justru menyentuh dahiku.

“Maaf, tapi menyerah gak ada dalam kamus hidupku, Sinta. Kamu tahu benar itu.”

***


“Uwuu, tuh kan malah so sweet. Padahal, habis disuruh nyerah malah ketjup-ketjup.”

Nadhifa menggoda setelah mendengarku bercerita. Aku hanya memegang dahiku dengan punggung tangan.

“Itu bukan pertama kalinya dia melakukannya. Jadi, bukan apa-apa,” balasku mengelak.

Nadhifa menghela napas.

“Iya, iya. Baiklah.”

Dia lalu meminum teh di cangkirnya.

“Tapi, menurutku gak ada salahnya kamu lihat usaha Guse dulu. Gimana pun kalian ini nikah secara sah agama dan negara. Dia lebih berhak buat kamu kasih ruang di hatimu daripada orang yang gak berani ngehalalin kamu. Mungkin ya … gak bakal semudah yang aku bicarain sekarang. Tapi apa salahnya dirasain dulu? Makanan itu mau seenak apapun kalau kamu gak kepengen ngerasain ya gak bakal kerasa. Sama kayak cinta. Dan hatimu ... cuma kamu sendiri yang bisa membukanya.”

Nadhifa mengambil madu mongso buatannya sebelum melanjutkan bicara.

“Lupakanlah Gus Rama, Sinta. Hidupmu bukan kisah Ramayana sampai kamu harus nungguin dia terus buat jemput kamu dari Alengka,” lanjutnya seraya menyuapiku makanan dari ketan itu.

Aku menikmatinya sembari menimang perkataan Nadhifa. Sama sekali tak ada yang salah. Hanya saja …

“Gus Asna itu terlalu tampan buat jadi Rahwana. Dan Gus Rama gak segagah itu sampe bisa disamakan sama Sri Rama meskipun tampangnya …mungkin?”

Nadhifa menanggapi perkataanku dengan tawa.

“Tuh, tahu … makanya, kasih Gus Asna kesempatan. Siapa tahu, Sri Rama sebenarnya itu dia?”

Aku tidak membalas lagi.

Bagiku yang seorang penulis … tak peduli seindah dan semenarik apapun perjuangan kisah Ramayana, yang terpenting adalah akhirnya. Aku tak mau berakhir seperti Sinta dalam cerita itu. Wanita yang diragukan kesetiaan dan kesuciannya oleh Rama setelah perjuangan panjang penyelamatannya.

Hati SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang