Di dunia ini banyak hal yang dapat membuat kita merasa tidak adil. Tinggal temukan satu saja alasan untuk kita tetap bersyukur. Itulah cara yang dapat kita lakukan agar tetap waras menjalani kehidupan.
Bagaimana pun di antara peliknya pernikahanku dengan Gus Asna, masih ada hal yang sangat aku syukuri, yaitu kasih sayang kedua mertuaku. Meski hari-hari menjadi ning dadakan sangat sulit, Umi Basma dan Abah Rahman selalu membuatku merasa punya tempat pengayoman.
“Gak usah diambil hati omongan orang ya, Nduk. Kami milih kamu jadi istrinya Asna bukan sekedar karena abahmu yang pengen besanan sama ayahmu. Tapi, kami yakin kamu mampu. Putra Umi itu terlanjur gak mau diributi sama urusan pesantren. Jadi, cuma kamu yang bisa Umi andalkan.”
Aku tersenyum tipis mengingat perkataan umi di masa awal aku memasuki ndalem.
“Ampun ngoten, Mi.[1] Daripada dalem[2] yang tinggal dan hidup di lingkungan tiyang awam, guse pasti lebih tau kebutuhan pesantren daripada dalem. Cuma sekarang fokus Guse emang belum ke arah sini mawon.”
“Wes, ndak usah belain suamimu, Sinta. Umi udah pernah ngomong dan dia sendiri yang bilang cuma mau jadi penyokong finansial. Padahal, yo opo gunane pesantren digae megah nak gak diimbangi peningkatan kualitas santrine?[3]“
“Kalau gitu, Umi haruse nyuruh Gus Asna nikah sama ning yang udah berpengalaman buat ngembangin pesantren. Dalem niki mboten saget nopo-nopo.”[4]
“Mboten saget nopo-nopo, tapi jadi pendiri jurnalis pelajar di sekolahmu? Bikin pojok baca di desamu? Terus opo maneh yo ... Ah, iku kamu juga sering gantiin ngajar ngaji turutan Bu Nyai Robiah, kan? Katanya pas terlalu banyak yang ngaji, temen-temenmu jadi minta disimak bareng-bareng, tapi kamu tetep bisa ngoreksi di usiamu yang baru berapa? Padahal, kamu bukan hafidzah asli pas itu? Atau ada lagi yang Umi gak tahu?”
Aku berdebar mendengar apa yang dikatakan umi. Kupikir, aku dinikahkan hanya untuk menjalin persahabatan. Ternyata karena alasan itu? Dan entah kenapa setelah mengetahui hal tersebut, bukannya merasa senang, aku justru tertunduk dalam. Rasanya pundakku yang sudah terbebani, kian bertambah berat.
“Dalem gak sehebat itu, Mi. Ampun terlalu berekspektasi terlalu tinggi sama dalem.”
“Sinta … Umi pikir, nama itu gak bisa jadi namamu cuma karena kamu cantik. Pasti ada alasan. Dan Umi yakin, kamu orang yang tepat untuk Asna. Kamu tahu kan Umi gak butuh menantu yang manis dan lemah lembut yang tahunya cuma manut, tapi dia yang mau berjuang, tabah dan tahan untuk membangun pesantren ini bersama.”
“Dalem gak bisa menjanjikan apapun, Mi. Tapi, dalem bakal berusaha yang terbaik.”
Pada akhirnya hanya itu yang mampu kuucapkan. Bagaimana pun tugas ini terlalu berat, kupukir begitu. Namun, seiring bergulirnya waktu … jalanan yang kubayangkan penuh krikil-krikil tajam bukanlah untuk menyakiti kakiku, melainkan melindungi langkahku.
Ya, meskipun umi terlihat memasrahkan semuanya padaku, nyatanya tidak. Umi hanya membutuhkan orang untuk diajak berdiskusi dan menjalankan inovasi yang dia pikirkan sembari memberi masukan hal apa yang sesuai untuk santri zaman sekarang. Dan dalam prosesnya terasa menyenangkan. Umi menganggapku sebagai putrinya lebih dari yang bisa kubayangkan.
“Sin … kamu udah kerja keras selama setengah tahun kan? Jadi, gimana kalau Ramadhan nanti kita liburan? Kuliahmu juga lagi libur, toh?”
“Mau liburan ke mana emangnya, Mi? Tumben.”
“Tilik Mekkah, Sin. Gelem, kan?”[5]
Waktu itu, aku yang terkejut hampir saja menumpahkan minyak berlebihan ke kaki umi yang kupijit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
SpiritualSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...