Semilir angin mengibarkan pakaian-pakain para pengunjung pantai. Malam ini, usai makan ... Gus Asna mengajakku turun ke pantai karena siang tadi kami hanya menikmati pemandangan dari restoran. Namun, meski sudah menginjak pasir putih, tak ada yang kulakukan selain duduk sembari mengamati orang-orang bermain kembang api. Ternyata jika tidak memiliki perasaan pada seseorang, liburan sangat membosankan dan aku tidak memiliki minat untuk bermain. Padahal dulu saat bersama Kak Rama, aku senang luar biasa ketika kami bisa ke laut bersama, meski itu terjadi begitu saja di malam terakhir acara malam keakraban mahasiswa.
“Wah ... Bisa-bisanya kalau dari belakang penginapan malah ada area yang bisa diinjak pasirnya. Padahal yang di sana tadi cuma ada jembatan buat nyelam. Ah, Kakak emang yang terbaik ...” teriakku antusias saat sampai.
Aku mengingat moment saat Kak Rama malam itu diam-diam mengajakku ke luar.
“Tapi, apa gak papa kita pergi berdua kayak gini? Kalau yang lain nyariin gimana?” tanyaku seraya berbalik.
Kak Rama yang tertinggal di belakang, membawakan sandal yang kulepas saat berlari.
“Bilang aja habis cari angin. Tapi paling mereka juga gak peduli karena asyik bakar-bakaran.”
“Hihi, gitu ... jadi gak ada yang peduliin kita ya?”
“Ya begitu lah.”
Mendengar jawaban Kak Rama, senyumku melebar. Aku suka sekali berenang, dan main di pantai dengan pasir putih adalah impian. Jadi, meski dingin, aku tetap ingin bisa merasakan sensi air laut yang bercampur pasir ketika menyentuh kakiku.
“Aih, dingin. Tapi, ini beneran indah banget, Kak. Mana airnya bercahaya gitu lagi. Argh ... argh ... kita boleh berapa lama di sini? Pengen nyebur rasanya,” kataku dengan konyol sembari merentangkan tangan ke depan.
Terdengar Kak Rama menghela napas sebelum menjatuhkan jaketnya di atas kepalaku.
“Nyebur di jam segini, bisa mati beku kamu. Parahnya lagi, gimana kalau sampe disamperin hiu?”
Aku tertawa renyah dengan candaannya yang garing.
“Kalau ada hiu, aku sembunyi aja di belakang Kakak. Kan aku mungil.”
Kak Rama mendecih sembari menahan tawa.
“Berarti kamu gak papa ya kalau aku mati duluan karena dimakan hiu terus kamu tinggal cari laki-laki lain?” katanya.
Aku menggelengkan kepala lalu menatapnya.
“Cuma bercanda. Kalau semisal itu nyata dan kita ada dalam bahaya, lebih baik aku yang mati daripada aku harus lihat kamu mati.”
Kak Rama tidak langsung membalas. Dia menatapku dalam sebelum akhirnya berujar.
“Kamu segitunya mencintaiku ya?”
“Iya lah. Kalau gak, aku gak akan percaya sama Kakak sampai berani nyusul Kakak kuliah di luar kota kayak gini. Kakak sendiri gimana? Masa' aku terus yang nyatain cinta. Kakak dong, sesekali ...” pintaku seraya memainkan pasir dengan jari. Dan tak ada jawaban sampai aku memanggil nama Kak Rama lagi.
“Apa sesusah itu bilang cinta? Padahal, aku bakal seneng meskipun Kakak ngucapin itu dengan gak niat. Maksudku gak perlu yang romantis, yang penting kan diucapin. Kalau Kakak gak pernah ngucapin itu aku jadi kayak ngerasa mencintai sendirian.”
Kak Rama tersenyum tipis dan menarik napas panjang. Dia lalu menarik kerah jaketnya yang kupakai dan menyimpulkan talinya.
“Maaf, kalau aku bikin kamu ngerasa gitu, tapi aku mau menyimpannya.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
EspiritualSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...