Part 11 - Hati yang Mengakui

197 14 0
                                    

Aku menatap Gus Asna lama dan masih menunggu jawabannya. Lantas, kalian tahu apa yang dia katakan?

“Kenangan kita gak cukup kuat buat jadi alasanku mempertahankanmu, Sinta … apalagi kamu bahkan gak ingat hal itu.”

Deg!

Jawabannya yang di luar dugaan membuatku refleks membalas, “Lalu?” 

Entah kenapa, saat ini aku bertambah sulit mempercayainya. Tidak, sejak awal … aku tidak ingin percaya padanya sebab aku ingin berpisah darinya. 

Aku lantas menghela napas panjang. Tidak boleh aku terus-terusan seperti ini mengingat perjanjian 3 bulan kami. 

Gus Asna mengalihkan pandangannya. Dia yang semula menghadapku, kini menggerakkan tubuhnya ke samping. Tangannya diremas sebelum memberikan penjelasan. 

“Mungkin kamu gak bakal percaya ini. Mungkin juga kamu bakal merasa aku cari-cari alasan. Atau yang lain sebagainya. Tapi, jika aku menyukaimu hanya dari kenangan kecil kita berarti aku mencintai kenangan kita bukan mencintaimu.”

Kali ini, Gus Asna menjelaskan dengan pelan dan hati-hati. Seakan dia memang sedang berbicara dengan orang yang dia cintai hingga dia harus memilah kalimat apa yang ingin dia ucapkan. 

Aku mengedip. Kupikir mendengarnya beralasan dapat membuat hatiku lega karena bisa menyangkal perasaan yang dia namai sebagai cinta. Tapi, dia sendiri malah mengakuinya?

Allah, hatiku tidak nyaman. 

Harusnya kamu bersikap dingin dan angkuh seperti biasanya, Gus … agar aku bisa meneguhkan hati. Kenapa kamu jadi merendah dan mengakui segalanya seperti ini?

Apa benar yang kamu rasakan itu cinta? Padaku? Setelah lamanya pengabaian yang kamu lakukan?

Hatiku sungguh sakit mendengar pengakuannya.

“Sinta … aku memang mulai melunak sejak sadar bahwa kamu adalah anak perempuan yang aku rindukan. Seperti kamu yang sakit karena aku tinggal, aku juga merasa kehilangan. Tapi, anak belasan tahun bisa apa? Aku hanya bertekad belajar dengan giat dan cepat dewasa agar aku bisa menemuimu. Tapi, lambat-lambat kenangan hanya kenangan, kan? Aku menemukan perasaan baru pada Hajar dan kupikir itulah cinta sebenarnya. Sampai aku dipaksa menikahimu.”

Gus Asna menjeda ucapannya dan menoleh padaku sebentar. Dia menunjukkan senyum sendunya. 

“Maafkan, aku. Karena merasa terpaksa menikah saat hatiku dibawa gadis lain, aku jadi memperlakukanmu dengan buruk,” katanya. 

Gus Asna kemudian mengalihkan pandangannya dan menunduk lagi.

“Padahal, kamu juga sama terpaksanya. Tapi, aku gak mau memahamimu dan terus sibuk sama perasaanku. Sampai-sampai aku gak bisa melihat kebaikanmu. Aku menyesal, Sinta. Sungguh, sangat menyesal. Hatiku baru terbuka setelah aku melihat foto masa kecilmu yang jatuh dari dompet. Walau sudah lama, aku bisa langsung sadar bahwa anak yang dulu pernah kucari adalah kamu. Tapi, pas tahu itu … aku sama denganmu. Aku gak percaya dan perasaan itu juga gak ada. 

“Jadi, wajar kalau kamu sekarang bingung, gak tahu mau bersikap gimana karena aku juga sama. Tapi, lambat-laun … pandanganku ke kamu berubah. Aku gak lagi jengkel setiap kali melihatmu dan satu per satu tindakanmu membuatku sadar kamu itu istri yang baik. Maafkan aku, Sinta …”

Dipenjelasan panjangnya, Gus Asna sampai menarik napas dengan berat dan menutup wajahnya sebentar seakan mengkokohkan pertahanannya agar tidak runtuh. 

“Aku mengabaikanmu setiap hari, tapi gak pernah sekali pun kamu lalai sama kebutuhanku. Aku terang-terangan gak mempedulikanmu, tapi kamu sepenuh hati peduli sama Umi-Abahku. Sampai-sampai mereka sangat menyayangimu dan bergantung sama kamu. Padahal, kamu kesulitan buat mengikuti budaya pesantren dan menghadapiku, tapi kamu gak pernah menunjukkannya. Aku yang terburuk saat berdua sama kamu, tapi kamu menunjukkan bahwa aku suami terbaik di hadapan semua orang. Lama-lama, hatiku juga luluh, Sin … Ibarat batu, kalau ditetesi air lama-lama juga bakal cekung. Hatiku sama aja.  Aku pelan-pelan menerima dan memupuk perasaanku ke kamu sebagai cinta. Mungkin, kamu sulit percaya … tapi, aku benar-benar mencintaimu sekarang, Sinta …”

Hati SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang