11. Maaf

911 135 28
                                    

Sepanjang malam Yudha terjaga, karena memikirkan ucapan Winda.


"Dia butuh waktu untuk sendiri dulu. Biar malam ini, Xiena nginep di rumah saya saja."

"Enggak! Dia harus pulang!" Tegas Yudha, membantah ucapan Winda.

"Sebelumnya, saya minta maaf, jika saya terlalu ikut campur urusan keluarga mas Yudha. Tapi, apa yang saya dengar dari Xiena, putri mas Yudha itu sepertinya butuh waktu untuk sendiri. Jadi, tolong mas Yudha mau mengerti."

Melihat Yudha yang hanya diam dan sepertinya masih ingin mendengarkan ucapannya, Winda pun melanjutkan. "Menjadi seorang anak pertama, apalagi perempuan dalam sebuah keluarga itu nggak mudah. Dia harus siap mengalah kepada adik-adiknya, menjadi panutan, serta menjadi contoh yang baik. Bahkan, dia dipaksa untuk harus selalu terlihat baik-baik saja dihadapan orang tua dan adik-adiknya."

"Walaupun kenyataannya tidak demikian. Sifat yang selalu dia tampilkan mungkin judes, pemarah dan kasar. Namun, sebenarnya tidak begitu. Karena, justru dia yang paling rapuh dan butuh banyak perhatian serta cinta."

"Seorang kakak tidak melahirkan adiknya. Jadi, kenapa ketika terjadi sesuatu kepada sang adik, orang tua selalu menyalahkan kakaknya dan meminta pertanggungjawaban darinya? Bukankah itu sangat tidak adil?"

Bagai tersambar petir, Yudha memejamkan matanya sejenak, merenungi ucapan Winda. Mendadak saja, hatinya terasa ngilu seperti tercubit.

"Seorang anak tidak pernah ingin dilahirkan tapi, para orang tua lah yang memutuskan untuk memilikinya. Ketika seorang kakak salah, tegur mereka seperlunya. Tapi, jangan pernah menegurnya di hadapan banyak orang, terlebih adik-adiknya. Itu hanya akan membuatnya sakit hati, hingga suatu hari nanti, mungkin dia akan membalaskan rasa sakit hatinya kepada hal yang negatif."

"Mas Yudha nggak mau kan, kalo Xiena sampai melakukan hal yang negatif?"

"Orang tua mana yang ingin punya anak dengan perilaku, yang tidak baik?" Balas Yudha.

"Benar! Terkadang, sebagai orang tua, tanpa sadar, kita selalu menuntut seorang anak untuk bersikap dan berperilaku sempurna. Sehingga orang tua lupa, jika anak mereka lahir dari manusia biasa yang jauh dari kata sempurna. Lantas, kenapa orang tua begitu ingin melakukannya, sampai-sampai mereka lupa untuk sekedar bertanya, apakah anak mereka sudah bahagia?"

"Pertanyaan yang sangat sederhana, namun, tidak banyak orang tua yang bisa mengucapkannya kepada anak-anak mereka. Bukan karena mereka tidak bisa, hanya saja terhalang dinding ego yang begitu tinggi."

"Jadi, tolong ijinkan Xiena untuk menginap malam ini." Ijin Winda.

Mata Winda tampak menatap Yudha penuh antisipasi. Takut-takut, jika Yudha mungkin akan marah atau tidak mengijinkan.

"Tolong titip Xiena untuk malam ini. Kabari saya, jika dia sudah merasa lebih baik. Dan... terima kasih." Putus Yudha.

Winda tersenyum. "Kalo gitu, saya permisi."


Yudha mengusap kasar wajahnya. Menyadari kesalahannya, bahwa selama ini, dirinya sebagai orang tua terlalu banyak menuntut, terlebih lagi kepada si sulung. "Maafin ayah." Gumamnya.


***


"Selamat pagi." Sapa Winda ramah, begitu melihat Xiena baru saja bangun dan menemuinya di dapur.

Xiena tampak merasa bersalah, ketika bangun tidur dan melihat Winda sudah berkutat dengan alat-alat memasaknya. Sedangkan, dirinya yang menumpang malah bangun siang.

Wisma Pak Yudha (END DI KBM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang