Darah.Bibir ranum bocah itu melengkung tipis, menatap luka pada bagian pangkal lengan hasil dari sayatan cutter yang ia pegang, gigi gingsul nya nampak menyembul dari balik bibir pink alaminya, ia tak merasakan sakit, melainkan rasa lega yang selalu saja hadir saat rasa perih itu teraba.
Cairan merah perlahan mengalir, membasahi lengan hingga ke pergelangan dan berakhir pada tanah yang di pijak.
Netra nya bergulir, menatap pantulan diri nya di depan sebuah cermin besar yang ia sandar kan pada dinding, ada beberapa bagian dari sisi cermin yang pecah, namun masih cukup membuat nya melihat luka luka pada wajah, lengan, paha, perut dan punggung nya.
Sebagian luka itu hasil dari ciptaan nya sendiri, dan sebagian lagi hasil dari bantuan ibu nya, bantuan? Entah mengapa Rana lebih suka menyebut nya begitu.
Rasa sakit itu terlalu candu bagi nya. Tidak, Rana bukan gila, ia hanya mencoba berdamai dengan luka yang selalu mencekik nya, mendorong nya untuk selalu merasa lemah, Rana hanya mencoba untuk bertahan hidup, ia lelah dengan rasa sakit yang sudah bertahun tahun ia rasakan, maka dari itu ia merubah rasa sakit itu sebagai teman nya, hasil nya menakjubkan, Rana bahkan terkadang merindukan rasa itu saat ibu tak menyiksanya.
Puas dengan apa yang ia lihat, Rana merebahkan diri di atas tikar yang sudah terdapat banyak lubang, benda itu ia dapat dari tempat pembuangan sampah saat ia memulung di malam hari beberapa waktu lalu.
Ia menatap pada genteng yang sudah mulai menghitam, sinar dari cahaya lampu kekuningan membias di netra nya.
Rana benci saat saat ia diam seperti sekarang, rasa lelah itu semakin terasa jika ia tak melakukan sesuatu, Rana lebih suka jika ibu memerintah nya untuk mengerjakan sesuatu, terkadang hingga tangan nya merasa bergetar, namun dari pada diam, Rana lebih memilih untuk merasa lelah.
Lelah dan sakit adalah musuh dari setiap orang namun teman sejati bagi Rana, rasa itu selalu bisa bersama nya, menerima nya saat kata bahagia saja begitu enggan menghampiri hidup nya.
Rana menegakkan badan dirasa ia mulai bosan, kantuk nya tak kunjung datang, padahal terakhir ia tidur kemarin malam, itupun hanya tiga jam, mungkin malam ini Rana akan memilih lembur kembali.
Ia menyingkirkan cermin yang menghalangi pintu lemari, selanjut nya ia membuka benda lapuk yang terlihat tinggal roboh nya saja itu.
Ada puluhan baju lusuh bahkan terlihat berlubang sana sini, ia mengambil nya setumpuk, membawa nya hingga menuju tikar tempat tidur nya tadi, tak luput ia mengambil jarum, gunting dan benang sebagai alat jahit.
Kara mulai memotong pola, menjahit nya di mana mana, sesekali tangan nya sengaja menusukkan jarum itu pada anggota tubuh nya, ia menahan rasa tergelitik yang di rasakan, semakin malam semakin Rana berinisiatif untuk menusuki semua anggota badan nya, secandu itu rasa nya, hingga Rana tak ingin berhenti seandai nya rasa kantuk itu tak datang.
Ia membawa hasil jahitan nya kembali menuju lemari tadi, menyajarkan nya bersama dengan dua hasil jahitan lain nya dengan bentuk bentuk yang berbeda.
"Rana punya mainan baru buat Anna, jadi Anna jangan tinggalin Rana ya." Bocah itu menyapa dengan senyum ceria pada bocah perempuan seusia nya yang meringkuk di sudut lemari, seseorang dengan nama Anna itu tersenyum lebar, mengangguk yakin tanpa membuka suara.
👸👸👸👸
Peluh mengalir deras dari kening bocah itu dan mengalir hingga menetes di dagu, rambut nya nampak terkuncir berantakan, satu tangan nya memegang sebuah kantong berisi botol botol plastik dan kardus bekas.
Desahan lelah nya terdengar, dan kerutan di kening nya nampak tak mengendur sedikitpun. Siang ini terlihat sangat terik dengan matahari yang terasa berada di atas kepala, jalanan ibu kota nampak macet di iringi suara klakson yang bersahutan marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Rana
Short StoryTidak semua cerita berakhir happy ending, terkadang sad ending juga perlu untuk sebuah kata sadar, jika tuhan tidak hanya menciptakan senyuman tapi juga air mata untuk pengingat, dia yang mengatur semua nya, bukan kita. Ini cerita ku, tentang luka...