Bagian 8

122 23 10
                                    


Untuk kedua kali nya, hari ini gadis dengan rambut tergerai lurus itu kembali berangkat dengan menaiki bus dan berhenti di halte tak terlalu dekat dari sekolah.

Jika kalian bertanya kabar tentang pekerjaan baru nya, kejadian kemarin berlalu begitu saja, tak ada adegan dimana ia di maki oleh bos karna merusak properti kafe atau bahkan di pecat secara tak hormat, Rana bahkan bisa melayani tamu seperti biasa nya meskipun tatap penasaran dari Tari dan pelayan kafe lain nya masih melingkup di sekitar nya.

Rana fikir mungkin angin keberuntungan yang datang nya seperti komet halley itu tengah berpihak padanya sekarang, atau tidak? Yang lebih Rana yakini, itu tak akan bertahan lama karna nasib buruk nya sudah terpatri dari lahir.

Hal pertama yang menyambut nya saat satu langkah kaki nya melewati gerbang adalah tatapan yang tak lagi asing dari kebanyakan murid disana, tatapan yang mengingatkan nya pada saat ia di tuduh sebagai pelacur karna sempat bekerja menjadi pelayan di sebuah club malam dulu.

Apalagi sekarang?

Rana memilih acuh, kembali melanjutkan langkah tanpa perduli pada sekitar, Rana hanya perlu diam di kelas setelah ini hingga pulang nanti, sebelum nya itu yang Rana fikirkan, hingga dorongan keras yang Rana rasakan dari arah belakang membuat nya terjungkal kedepan dengan dagu yang mendarat di atas paving dengan keras.

Netra nya refleks terpejam, tangan ringisan nya terdengar tipis, bukan karna rasa sakit yang ia rasakan, namun karna rasa terkejut nya dan posisi tangan yang tak siap, ia hanya berharap tangan nya tak patah karna tertindih badan nya sekarang, Rana benci saat ia tak bisa melakukan apapun.

Hahahah

Tawa keras mengisi keheningan, Rana jelas tau jika seseorang memang sengaja mendorong nya dari belakang untuk menjadikan nya lelucon seperti sekarang, dan sial nya Rana harus mengakui jika itu bukan untuk yang pertama kali nya ia di perlakukan seperti itu semasa ia bersekolah.

Jika di tanya Rana malu atau tidak, rasa nya tidak. Rasa malu itu sudah hilang di hari pertama saat Rana di permalukan di depan umum, Rana tak bisa merasakan apapun selain dorongan keras dari diri nya untuk kembali berdiri dan menghadapi semua seperti biasa.

Di tengah nyeri nya dagu dan tangan yang membuat Rana ingin sekali mengeluarkan kekehan, netra dingin nya menatap pada dua orang yang Rana ingat sempat bertemu--ah ralat berurusan dengan nya di perpustakaan, Rana yakin jika mereka belum puas dengan kejadian kemarin, atau mungkin tak akan pernah puas, karna Rana sendiri sudah tau menau tentang ia yang menjadi korban satu sekolah dari semua kalangan nya mulai kemarin.

"Oh my, dagu lo berdarah ya? Utututu jangan nangis dong." Suara tawa mengiringi gadis itu di ujung kalimat, Rana bisa merasakan jika semua orang terhibur dengan apa yang gadis bername tage Disella Amerta Mahardika itu lakukan.

"Nangis nya sih bukan masalah, tapi emang lo gak takut di laporin ke bokap baru nya, secara aset utama nya udah luka, nilai plus nya berkurang dong!" Kali ini gadis di samping nya menjawab, menciptakan raut terkejut yang jelas di buat buat oleh Sella.

"Eh, bener! Aduhh gimana dong? Gimana kalau gini aja, kita bikin kesepakatan, kalau lo gak lapor bokap.angkat. lo itu, gue bakal kasih lo kerjaan, e-- apa ya, ah! Lo bakal jadi babu gue, dari pada jadi pelayan mondar mandir sana sini kan, gimana gimana? mau dong ya."

"Ya kali Sel, dia kan anak horang kaya, mana mau jadi babu, kerjaan dia juga pasti nya cuman duduk anteng sambil nadah tangan minta uang, secara anak satu satu nya keluarga Fernandez! Ya gak guys?!"

Semua nya nampak mengangguk menyetujui, tak luput dengan tawa mencemooh dan beberapa bahkan mengabadikan dengan merekam nya lewat ponsel, hanya Rana yang diam dengan Sella yang tersenyum puas dengan apa yang kawan nya katakan.

Dunia Rana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang