Sepanjang nyawa nya masih melekat, Rana tak pernah seberani itu menyamakan takdir hidup nya dengan anak anak lain, hanya sekedar mengharapkan kata keadilan pun Rana tak pernah memikirkan itu, ia haram, ia anak hasil dari sebuah kesalahan, ia anak yang tak pernah sedikitpun di harapkan, tuhan saja tak pernah mengizinkan ia untuk bisa merasakan kasih sayang tulus dari seseorang, ibu nya membenci nya, ayah nya bahkan tak pernah tau ia ada, lalu apa yang perlu Rana banggakan dari kehidupan nya? Jawaban nya tak ada.
Mungkin, satu satu nya hal yang bisa Rana syukuri dalam kehidupan nya adalah, rasa sakit yang dengan baik nya menemani setiap saat, memberikan nya rasa terbiasa yang membuat nya tak pernah lagi merasa tersiksa, ah Rana tarik apa yang tadi ia katakan, mungkin Rana bisa membanggakan satu hal ini, orang lain yang tak tentu bisa menjadi sekuat diri nya kan?
Kalian, pernah merasa sesenang itu saat tangan kalian tergores pisau? Atau saat kaki kalian menginjak pecahan beling? Atau juga saat pipi kalian tertusuk jarum? Ah Rana tak pernah melupakan sensasi menyenangkan saat ia melukai paha nya dengan paku berkarat, rasa nya benar benar melegakan bagi Rana. Kalian pernah merasakan nya? Atau mau mencoba?
Namun, bukan kah ini juga bisa di namakan sebuah keadilan? Orang lain bahagia saat merasakan kasih sayang, dan Rana bahagia dengan luka yang setiap saat ia dapatkan, sama seperti nama nya, Rana yang berarti luka, hanya saja cara mereka bahagia terlalu berbeda.
Netra obsidian coklat itu menatap kosong pada puluhan anak sebaya nya yang tengah berlarian di halaman panti, begitu ramai akan cekikikan dan gelak tawa yang terdengar, sebagian ada yang duduk berkelompok, entah sedang membicarakan apa atau memang tengah melakukan sebuah permainan, yang pasti Rana tak tertarik untuk bergabung, ia benci keramaian.
Sudah berlalu satu minggu ia berada di panti yang cukup luas itu, ia di temukan tergeletak pucat oleh salah satu pengurus panti yang tengah berniat keluar setelah hujan reda, bibir nya yang begitu pucat hari itu membuat mereka mengira jika ia telah meninggal disana, namun detak jantung nya yang terdengar begitu cepat membuat mereka membawa nya kedalam, sadar jika ia hanya tak sadarkan diri, mungkin karna kelelahan atau kedinginan.
Mereka memutuskan untuk membuat nya menjadi salah satu dari mereka, satu kebaikan yang sayang nya tak bisa Rana terima dengan baik, mengapa mereka tak meninggalkan nya? Mengapa mereka tak membiarkan nya mati di sana?
Gerakan tangan seseorang yang mengibas di depan wajah nya membuat Rana mengerjap, menengok sekilas dan kembali membawa pandangan nya kedepan setelah tau siapa yang berada di sebelahnya.
Seorang bocah perempuan dengan rambut di kepang dua dan boneka barbie yang berada di pelukan, Kara tau pasti mengapa gadis itu mendekat, bukan sekali dua kali mereka mengajak nya bicara, bahkan memaksa nya untuk bermain bersama, namun yang Rana lakukan hanya diam, memandang mereka asing, dan berlalu menuju tempat sepi dengan beberapa bantalan abstrak yang ia bawa.
Rana berniat pergi, kedatangan gadis itu sudah merusak ketenangan yang sempat ia rasakan di sana, memang ia tak mendengar apapun yang membuat nya terganggu, namun hanya dengan kehadiran nya, Rana merasa jika udara tak lagi sama, seakan memerintahkan nya untuk berlalu secepat mungkin.
"Rana. Bu Maryam minta aku kesini buat ajak kamu main."
Respon Rana hanya menengok sekilas dengan tatapan tanpa ekspresi, selanjut nya kembali mengambil langkah untuk pergi.
"Rana, tunggu! Kamu gak sopan banget sih! Bu Maryam bilang kalau ada yang tanya itu harus di jawab, gak boleh langsung pergi!" Dan Rana tak perduli. Ia terbiasa selalu sendiri, dan ia terlalu nyaman dengan sisi itu, memberi ketenangan yang selama ini selalu ia harapkan. Dulu Rana memang mengharapkan kedatangan seorang teman, namun sekarang tidak, cukup Anna yang boleh menjadi teman nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Rana
Short StoryTidak semua cerita berakhir happy ending, terkadang sad ending juga perlu untuk sebuah kata sadar, jika tuhan tidak hanya menciptakan senyuman tapi juga air mata untuk pengingat, dia yang mengatur semua nya, bukan kita. Ini cerita ku, tentang luka...