6. Point-MPM

62 18 0
                                    

"Ternyata seburuk itu sistem sekolah sampai menjadikan anda sebagai salah satu guru di sini."

Bu Seli masih terlihat tenang dengan ucapan sarkasme yang Rain lontarkan. Ia keluar dari sisi meja guru. "Sadarkan diri kalian saja. Sejak awal bukankah kalian memang sudah tahu kalau nilai kalian lebih penting dari akhlak kalian?"

Rain berdiri. "Bukannya guru itu mengajar dan mendidik? Anda tidak cocok menjadi guru jika tidak bisa mendidik. Akhlak para siswa kelas ini sudah jadi tanggung jawab ibu, bukan?"

"Eh? Kata siapa begitu? Kalian lupa sekolah di mana? Math High School itu hanya mengedepankan ilmu matematika kalian."

"Mengedepankan bukan berarti melupakan yang lain," sahut Rain datar.

"Kamu pintar bicara ya. Kenapa kamu tidak selesaikan saja soal yang saya berikan? Waktu kamu terbuang untuk berdebat dengan saya," kata bu Seli seperti tidak bisa membalas lebih jauh ucapan Rain.

"Saya nggak butuh lebih dari lima menit untuk mengerjakan soal itu," kata Rain berhasil mengambil perhatian satu kelas.

"Rain! Bantuin gue kalo gitu!" pekik Rimu senang.

Rain menatap Rimu tidak minat. "Gue nggak minat jadi guru lo."

"Rain! Gue!" seru Cielan berbalik kursi. Menatap penuh harap pada Rain.

Rain tampak diam. Ia menatap Cielan sekilas lalu mengangguk samar. Hal ini menimbulkan banyak protes dari anak-anak di kelas.

"Gatel lo! Pantes Cielan sana Yonuza lo gaet," cela Meira menatap Rain penuh dendam.

Rain tersenyum kecil. Kekanakan. Gadis itu menyimpan dendam padanya karena kesalahan yang diperbuatnya sendiri. "Gue punya hak untuk itu. Siapa yang mau gue bantu, itu terserah gue," ucapnya santai.

"Sasimo! Apa lo udah dibayar?" tanya Reizu sinis.

"Oh iya, sekolah kan bodo amat sama akhlak kita. Mungkin aja sih. Apa lagi kita punya unit sendiri-sendiri. Gue semalam liat Cielan masuk unit lo. Iya kan, Rain?" timpal Naya yang semalam memang tidak sengaja melihat Cielan masuk ke kamar milik Rain.

"Mulut sampah lo nggak berhak sebut nama gue," gumam Rain begitu dingin dan pelan.

"Gue nggak peduli dengan fantasi kalian tentang gue dan Cielan. Kalian udah buang lima belas menit kalian. Yakin bisa selesai?"

Bu Seli menatap arlojinya. Benar saja, lima belas menit sudah berlalu hanya untuk perdebatan tak berujung ini. Ia duduk kembali di kursi guru. Menatap para siswa yang mulai tenang.

Tenang? Tidak. Lebih tepatnya, melihat mereka yang kini berhenti berdebat dan mengejar tugas mereka masing-masing. Jelas tidak ada ketenangan di diri mereka. Yang ada hanya kepanikan.

"Bodohnya. Itu hanya soal anak SD. Tidak seharusnya kalian tidak bisa mengerjakan soal itu," gumam bu Seli tak percaya jika anak ajarnya akan panik hanya karena soal itu.

Clap

Rain maju dengan lembar jawabnya. Ia menatap tanpa takut bu Seli. "Cepat juga kamu," tutur bu Seli menerima lembar jawab milik Rain.

Rain tersenyum angkuh. "Saya sudah bilang, saya nggak nggak butuh lebih dari lima menit untuk nyelesain soalnya."

"Saya juga udah!" seru Cielan memberikan kertas lembar jawab miliknya pada bu Seli. "Dibantuin Rain!" lanjutnya tersenyum senang.

"Yonuza," gumam Rain sedikit kaget dengan kehadiran Yonuza yang tanpa suara. Ia menghela napas pelan. Ia masih heran dengan keberadaan Yonuza yang bisa satu kelas dengan dirinya.

"Apa soal seperti ini memang harus diberikan untuk siswa SMA?" tanya Yonuza pada bu Seli. Menatap kurang minat soal yang bu Seli buat.

Bu Seli mengangguk santai. "Di Math High School kita akan belajar materi matematika kelas satu SD sampai tiga SMA. Itu memang aturan mutlak sekolah ini," jawabnya menjelaskan.

MATH SCHOOL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang