10. 1-100

74 17 5
                                    

Rain menghela napasnya panjang. Akhirnya dia terbebas dari Rimu. Gadis itu sangat banyak bicara. Selama perjalanan, mungkin bisa dikatakan tidak ada kesempatan bagi dirinya maupun Vitora untuk membuka topik.

Bagaimana tidak? Membalas cuitan gadis itu saja sudah susah sangking penuh semangatnya dalam bercerita. Seakan tidak ada titik di setiap kalimat yang Rimu lontarkan.

"Sesek napas gue," gumam Rain menarik napas dalam-dalam lalu menahannya sejenak. Tak selang begitu lama, ia menghembuskan napasnya perlahan.

"Mau?" tawar Vitora menggoyang-goyangkan kaleng soda miliknya yang tinggal satu. Itupun sudah ia bukan dan ia minum.

"Nggak!"

Vitora terkekeh dibuatnya. Gadis itu bergerak seakan ingin melemparinya dengan buku-buku yang memenuhi tangan gadis itu.

"Mau apa lo ngajak bareng?" tanya Rain mengingat mereka kini bisa berjalan beriringan untuk ke kamar masing-masing.

"Nggak ada."

"Gue tau lo ada maunya."

"Sebenernya cuma mau tanya pertanyaan gampang sih," kata Vitora mengalah. Ia lalu menegak habis sodanya saat melihat tempat sampah di pojok ruangan. Dengan sigap tangannya melempar kaleng soda yang sudah kosong itu tepat masuk ke dalam tempat sampah tersebut.

"Apaan?"

"Lo ada di urutan berapa untuk siswa yang masuk ke sekolah ini?"

Rain berdehem pelan. Ia sedikit memperlambat tempo berjalannya. "Ngapain nanya?"

Vitora menggeleng pelan. "Orang pinter kalau ditanya malah nanya balik ya?"

Langkah kaki Rain makin melambat. Ia bahkan hampir menghentikan langkahnya. "Pinter? Ngaco lo!" sentak Rain tertawa.

Dahi Vitora mengernyit. Apa yang ia katakan salah? Belum lagi tawa dibuat-buat yang gadis itu suarakan. "Kenapa gue ngaco? Sekarang gue tanya, lo yang kelewat pinter atau gue yang kelewat bego?" tanya Vitora.

Kenapa malah saling tanya tanpa jawaban T_T

Rain bergumam kecil. "Lo yang kelewat bego."

"Kenapa lo jawab gitu?"

"Simpel. Kita di kelas sepuluh math lima. Dari pada bilang gue kelewat pinter, lebih masuk akal lo kelewat bego kan?"

Vitora menghela napas sabar. "Kalau gini gue tau, lo cuma kelihatan pinter di awal tapi aslinya bego parah," ungkapnya gamblang.

Ucapannya yang tanpa berpikir panjang itu menimbulkan sedikit perkara. Satu buku sudah melayang tepat ke arah wajahnya. Untungnya tangannya yang kosong sigap menangkap buku paket yang tebalnya tidak kira-kira itu. Jika dibandingkan dengan kamus bahasa Inggris, buku paket ini jauh lebih tebal.

"Kalo lo masih mau nutup-nutupin identitas lo, mending kita nggak usah kerja sama aja," kata Vitora dengan suara dan raut wajah yang lebih serius.

Rain menatap datar Vitora. Laki-laki itu kira dirinya akan dengan begitu mudah mengatakan ini itu pada orang yang belum lama dikenal? Ia merebut kembali buku paketnya untuk di taruh dengan rapi di lantai. Kini keduanya sama-sama menghentikan langkahnya.

Kedua tangannya Rain bersedekap silang di depan dada. "Gimana sama lo? Lo dari kelas sepuluh math lima tapi lo berteman sama anak OSIS."

"Gue temenan sama dia udah dari lama."

"Gimana bisa lo masuk kelas biasa apa lagi sepuluh math lima sedangkan temen lo itu masuk kelas elite alias OSIS?"

Vitora hampir saja berteriak mendengar nama kelas mereka terus disebutkan. Belum lagi cara bertanya Rain yang menuntut seolah banyak yang tidak dia ketahui dan ingin ia ketahui.

MATH SCHOOL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang