11. 1:8

79 11 4
                                    

Suara pintu yang digedor-gedor terdengar begitu jelas masuk ke indra pendengaran Rain. Gadis itu menatap pintu yang terus menimbulkan suara berisik itu seraya mengenakan sepatunya. Ia mengikat simpul tali sepatunya tanpa mengalihkan pandangannya.

Setelah selesai dengan urusan sepatu, ia berdiri. Matanya melirik ke arah sebuah layar lcd yang memperlihatkan Cielan di depan pintu unitnya. Ia mematikan alat tersebut lalu membuka pintu unitnya.

"Lama! Gue udah dari tadi di sini!"

Kata sambutan yang lumayan buruk dipagi yang cerah ini. Rain melenggang pergi melewati Cielan.

"Raaa!" panggil Cielan mengejar Rain. Menyejajarkan langkah kakinya dengan gadis itu.

"Ra, awali pagimu dengan senyum manis ku," ucap Cielan meraih wajah Rain dan ia tengokan pada wajahnya yang tersenyum sempurna.

"Gue gampar lo ya!" ancam Rain setelah menepis tangan Cielan.

Mendapatkan omelan dari Rain pagi-pagi seperti ini membuatnya mau tidak mau diam menurut. Laki-laki itu hanya berjalan dengan wajah menunduk mengikuti irama langka kaki Rain yang kecil. Kaki yang mungil itu tampak begitu jelas memperlebar jaraknya seakan ingin mendahului langkahnya yang lebih lebar.

Bruk

"Raaa!!" seru Cielan dengan nada tidak terima.

Rain yang dipanggil menghentikan langkahnya. Ia berbalik, memperlihatkan wajahnya yang menahan tawa. Dari guratan wajah gadis itu saja sudah dapat ditebak kalau gadis itu tidak perduli dengan Cielan yang jatuh karena tidak melihat tembok sekitar itu.

"Raa," panggil Cielan lagi. Merasa terkhianati oleh Rain yang bodo amat akan dirinya.

Setelah mengenal Rain lumayan lama, ternyata gadis itu sebenernya bukan tipe pendiam. Rain itu tipe gadis yang sinis jika ada yang mengganggunya. Jika sudah masuk ke dalam zona pertemanan dengannya, Rain akan lebih banyak mengomel.

"Ra-"

"Cepet kalo nggak mau gue tinggal," potong Rain membuka pintu jalan menggunakan tangga.

Cielan mendengus tak urung ia tetap berdiri menyusul Rain. Ia lupa satu hal tentang gadis di depannya ini. Rain paling tidak suka diganggu. Ia mengikuti Rain yang kakinya satu persatu menuruni anak tangga.

"Lift juga ada, Ra. Ngapain pake tangga? Ngga perhatian banget gue abis jatuh," kata Cielan.

"Biar kaki lo tambah sakit," sahut Rain sengaja.

Cielan meringis mendengarnya. Rain itu termasuk manusia kejam yang pernah ia temui. "Gue liat buku harian lo ketinggalan di laci meja kelas," ungkapnya mengganti topik bicara.

Rain menatap Cielan sejenak yang membukakan pintu keluar. Ia lalu melanjutkan perjalanannya menuju sekolah, begitupun dengan Cielan. Mengamati sekitar yang sepi, ia menarik hoodie Cielan hingga merapat padanya.

"Di mana bukunya?"

"Gue ambil, tapi gue lupa bawa. Sekarang ada di kamar gue," jawab Cielan santai.

Rain berdehem pelan. Tangannya yang masih memegang hoodie Cielan bagian depan makin mengencang pegangannya. "Lo baca?"

Membuang muka, Cielan menatap langit yang biru dengan awan putih menghiasi. Kedua tangannya melepaskan tangan Rain pelan-pelan dari hoodienya. "Gue baru tau ternyata lo masuk sekolah ini bukan karna diri lo sendiri."

Rain mengepalkan tangannya mendengar kalimat itu. "Jangan sok tau! Balikin buku gue!" perintah Rain penuh penekanan.

"Ra, lo nggak perlu cari dia. Gue yakin dia aman," ujar Cielan menoleh, menaruh perhatian penuh pada Rain. "Lo fokus aja ke diri lo sendiri. Lo harus lulus dari sekolah ini."

MATH SCHOOL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang