Yasmine Wijaya Kusuma

83 11 1
                                    

Mobil Avanza putih itu berdiri tepat didepan gerbang besi tua yang sudah dipenuhi karat. Seorang anak dengan tinggi 170an keluar dari mobilnya, anak berambut hitam itu menatap gerbang yang lebih tinggi dari dirinya. Dibelakangnya, sesosok lelaki lebih tua juga keluar dari mobil, disusul dengan sang wanita disampingnya.

"Suka?" tanya sang Ibu pada anak lelaki itu. Anak itu hanya terdiam dengan ponsel ditangannya. "Jake masih kerja ya?" kata perempuan itu lagi pada sang suami.

"Sepertinya iya," jawab sang suami. Iapun membuka bagasi mobil dan mulai mengeluarkan beberapa tas besar. "Aaron, bantu Papah." titahnya, dan sang anak lelaki membantunya mengemasi barang.

Rumah itu cukup terlihat besar dari luar, dengan dua pilar yang kokoh di pintu depan dan juga pelataran taman yang berdiri satu kandang unggas ditengahnya. 

Aaron sang anak menjadi orang pertama yang memasuki rumah, ia melihat sekeliling rumah barunya itu. Ini adalah rumah keduanya pindah setelah pertama kalinya ia pindah saat ia masih balita. 

Rumah dengan konsep Open Space dibagian ruang tamu, ruang keluarga hingga ruang makan ini memberikan kesan luas, tak lupa pula dengan tangga kayu besar yang menjadi pembatas antara ruang makan dan dapur indoor. 

"Dilantai satu ada tiga kamar, Papa sama Mama Ambil kamar utama di ujung." Ujar ibunya berjalan mendahului Aaron.  Aaron hanya mengangguk mengekori sang ibu. Memang rupanya ada tiga pintu kamar mana kala kita berdiri di ruang keluarga. satu kamar utama yang sudah dimasuki sang ibu, disebelahnya ada pula pintu kamar mandi dan barulah satu pintu kamar lagi yang mengarah jendela ketaman depan. berbeda dengan satu kamar yang berada di sebrang dua kamar awal, kamar itu mengarah ke taman belakang yang mana terdapat kolam ikan kosong tak berair. Entah mengapa suasana kamar itu terkesan lebih gelap dan angker. 

Aaron sontak memutuskan untuk berada dikamar yang ada disebelah kamar orang tuanya, lagipula kamar itupun bersebelahan dengan kamar mandi, cukup strategis baginya. 

Sang ayah yang melihat anak bungsunya memasuki ruangan itu sedikit menyusul, "Jangan lupa tanya kakak-kakakmu mau kamar yang mana." ujarnya seraya pergi membuat Aaron yang berada diruangan kosong itu menjatuhkan barang bawaanya. 

Anak itu menurut, dengan cepat ia mengetikkan sebuah pesan di grup keluarga, mengarah pada kedua kakaknya bahwa ia akan memilih ruangan ini. Cukup lama anak itu berkutat dengan ponselnya, ditambah wajahnya yang terus semakin masam mana kala ia mengetikkan pesan, tentu bukanlah sebuah pertanda bagus. 

"Pah aku nggak mau sekamar sama Bang Jaki!" Ia tiba-tiba memekik dan keluar ruangan, menyusul kedua orang tuanya yang berada di halaman depan menunggu kurir angkut barang. 

Yuna sang ibu yang melihatnya pertama kali, "Ya sudah, Dek, mau gimana lagi? kakakmu dan kamu kan sama-sama mau diruangan itu." 

"Tapi rumah ini punya enam kamar! Bang Jaki harusnya ngalah dong, Bun!"

Sang ayah memotong, "mungkin harusnya kamu yang ngalah, masa abangmu terus yang ikutin kamu?" ucapan ayahnya itu jelas membuat Aaron merasa kesal, wajahnya mulai memerah padam dan ia hanya bisa meremat ujung bajunya dengan jengkel. Kepindahan kerumah baru adalah sesuatu yang ia tunggu-tunggu. bagaimanapun ia sudah hampir sepulut tahun tidur bersama Jake dalam satu kamar, setidaknya di rumah baru ini ia mengharapkan ruang kamar pribadi. 

Sadar melihat sang anak kesal, Yuna berbicara. "Begini saja, kalian coba dulu tidur berdua, kalo salah satu dari kalian nemu ruangan yang pas buat kamar selanjutnya baru kalian pisah, oke?" katanya, membuat Aaron mau tau mau hanya mengiyakan. 

Ditengah keributan kecil itu ada suara motor Honda menghampiri pagar mereka, dengan helm bogo dan jaket parasut. Itu adalah Iqbal yang baru saja pulang dari kegiatan Lesnya. "Aku baru mau jemput dia di kumon." Ujar Iqbal mana kalia ia memarkirkan motor dan menatap Aaron.

Puncak WijayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang