Ikan Koi Dan Penunggu

35 8 1
                                    

Duk! Duk! Duk!

Suara langkah kaki menuruni tangga begitu terdengar di gendang telinga Sakura. Ia melihat dari kamarnya, sosok Aaron sedang menuruni tangga, disusul Iqbal dibelakangnya. Mereka terlihat sedang berlomba-lomba mencapai tujuan akhir.

"Aaron yang dapet, kamu katanya mau futsal?"

Kali ini suara sang Paman terdengar jelas. Karena penasaran, gadis itu memutuskan untuk keluar dan melihat kearah sumber suara.

Pak Agung dengan kedua anaknya berdiri di teras belakang. Aaron terlihat bahagia mengibas-gibaskan tiga lembar duit berwarna merah kearah Iqbal, sedangkan sang kakak memasang wajah kesal kepadanya.

Iqbal mengeluh, "ya Aku juga mau uang." ujarnya, namun kepala keluarga itu tetap teguh menolak permintaan sang anak.

"Suruh siapa alasan."

Si anak bungsu mentertawakan kakaknya, sebelum akhirnya ia melipat celana panjangnya dan menghampiri sebuah ember biru besar, hampir sebesar badannya.

"Ini ikannya?" tanyanya. Sang ayah mengangguk, berbeda dengan Iqbal yang mengintip sedikit sebelum bersuara.

"Ikan koi? Anakkan banget ini mah!" pekik Iqbal.

Sakura memutuskan mendekat, jongkok disebelah Aaron yang mengobok-obok ember biru itu. Benar kata Iqbal, ini adalah bibit ikan koi, ukurannya mungkin masih kurang dari telapak tangan, namun jumlahnya pasti lebih dari puluhan.

Agung berbicara, "sengaja, karena mereka harus membiasakan suhu dan air kolam sejak dini, nanti ada seleksi alam, belum tentu semua itu hidup kan." jelasnya, Sakura mengangguk. Tidak perlu diragukan, pamannya ini adalah dosen perikanan.

Sang anak sulung hanya menghela napas, "terus si Aaron gimana? Dia kan ada kumon sore ini?" katanya, masih mencoba mengganggu sang adik agar mendapatkan uangnya, tapi ternyata respon Pak Agung diluar dari ekspetasinya.

Kepala keluarga itu justru kembali menatap sang anak bungsu, "ya gapapa? Bisa bolos dulu sehari, nanti Papa yang izin ke tempatnya." Ujarnya.

Jelas saja Iqbal memasang wajah kecut mendengarnya, disisi lain Pak Agung ini menjahili sang anak. "Kamu sendiri bukannya udah ditunggu temen futsal? Sana gih." titah bapak beranak tiga itu.

Aaron tertawa puas, ia menjulurkan lidahnya pada sang kakak dan mencemooh Iqbal karena ini kesempatannya, tapi Iqbal hanya menahan kesal seraya melayangkan pukulan ke udara, berharap ia memukul Aaron sungguhan. Lelah, akhirnya Iqbal memutuskan pergi dan berpamitan meninggalkan Sakura dan kedua lelaki keluarga Wijaya itu.

Setelah Iqbal pergi, Pak Agung berbalik pada sang anak bungsu.

"Kalo beres lebih cepet, kamu tetep Kumon ya!"

Perkataan itu jelas membuat Aaron merengek protes, "kok gitu? Tadi bilang di depan Bang Iqbal boleh bolos!" pekiknya.

"Kan itu depan Iqbal aja."

"Ya nggak bisa gitu dong! Papa tuh harus pegang omongan! Lagian nanti abis selesai beresin kolam juga aku capek, masa ditambah kumon juga? gak adil lah namanya, gak setara sama uang tiga ratus ribu."

Ya, Sakura cukup terkejut dan hanya bisa melihat percakapan antara anak dan ayah ini, tapi Agung mengerti kemana arah pembicaraan Aaron, iapun hanya menghela napas. "kamu ini bilang aja minta tambahan duit baru mau ikut kumon juga."

"Oh iya dong!"

Tak!

Sebuah pukulan telak tepat di ubun-ubun si bungsu, meskipun tau itu tidak keras namun suaranya begitu terdengar jelas. Agung menggeplak putranya itu jelas sebagai bercandaan.

Puncak WijayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang