Agung tertawa terbahak-bahak, sedangkan Yuna hanya menggeleng heran mendengar cerita Aaron perihal rumah mereka ini.
"Pemilik sebelumnya nyewain rumah ini karena dia pindah ke Tangerang. Kalo bisa pun di jual, karena udah menetap disana, nggak ada sangkut pautan sama cerita begituan, ah." erang Yuna seraya mengusap punggung si bungsu.
Iqbal terdengar terkekeh seakan menghina Aaron, berbeda dengan Jake yang menguap lebar karena tubuhnya dirasa begitu lelah.
Sakura hanya mengangguk mendengar ucapan tantenya itu, mungkin benar dan cerita Jisung hanyalah sebuah mitos daerah komplek ini.
Aaron yang mulai sebal hanya bisa melihat sekelilingnya. Matanya bertemu dengan mata sang kakak, Jake. Sesaat, Jake langsung membuang muka ketika ia sadar beratatapan dengan adiknya itu, hal itu sontak membuat Aaron merasa teringat sesuatu.
"Bang Jaki." ucapnya, membuat kedua orangtuanya berhenti bersuara karena melihat anak bungsu mereka, "Bang, lo juga awal pindah ngerasain kan???" tanya Aaron kini membuat Jake hanya mendengus sebal.
"Aaron yang sopan!" tegur Agung, namun Aaron seakan tak peduli.
"Aku inget banget Bang Jaki awal pindah bilang kalo rumah ini serem kan??" sungut si bungsu, ia begitu yakin jika cerita Jisung dengan reaksi Jake saat itu adalah penguat validasinya.
Jake mendengus, "Apasih? Kaga!" ucapnya dan menatap kesal pada Aaron.
"Ih bilang aja! Lagian waktu itu juga lo nanya kan ada yang item-item itu!"
"Ya kan lo bilang sempak gue terbang dari atas jemuran itu mah!"
Tutur ucap kedua kakak beradik ini sudah melanggar batas peraturan keluarga Wijaya, dengan menggelegar Agung memukul permukaan meja hingga menghasilkan gema.
"Kalian ini cara ngomongnya kaya nggak pernah di perhatiin aja!" bentak Agung, "nggak ada hantu-hantuan di rumah ini! Aaron! Kamu cuma ketakutan! Nggak usah kamu denger cerita nggak jelas lagi! Juga perhatikan dengan siapa kamu bicara!"
Merasa tak terima, anak bungsu Agung ini melawan, "Loh? Orang aku bener kok!? Bang Jaki aja sok-sok nutupin, Bang Jaki tuh yang pertama bilang rumah ini serem sama dia liat sesuatu di kamar Teh Kura!"
"Aaron Wijaya!"
Namanya terpanggil lengkap, di ikuti pula oleh raut masam Agung yang memerah disekitar wajahnya. Kepala keluarga itu mulai terlihat murka. Tanpa mengeluarkan suara lagi, Agung hanya menunjuk jarinya pada kamar Aaron, seakan menitah anaknya itu untuk memasuki kamar.
Yuna sang ibu hanya diam, ia memilih merapikan bekas makan malam dan pergi kearah dapur, membuat Sakura kembali bertanya-tanya kemanakah sosok ART yang ia lihat tadi pagi.
"Kok aku doang sih yang dimarahin???" tanya Aaron, ia melihat sekelilingnya, ibunya yang melipir pergi, dan kakak-kakaknya yang hanya berdiam. Ia berdecak, "bela aja terus anak kesayangannya! Males!" sungutnya melempar amarah dan berjalan keras menuju kamar.
Setelah pintu kamar tertutup kencang, Iqbaal yang sedari tadi diam akhirnya bangkit dari tempatnya, tanpa mengucap sepatah katapun langsung pergi begitu saja ke lantai dua, meninggalkan ayah dan adik juga sepupunya yang jelas kebingungan.
"Itu anak satu mirip siapa sih, rebel sekali!" gerutu Agung, mungkin amarahnya sudah mereda. Disisi lain, Sakura yang menjadi saksi pertengkaran keluarga itu hanya bisa terdiam kikuk.
Erangan napas terdengar dari Jaki, "Aaron kalo udah begitu kamar dia kunci." katanya, jelas Agung menoleh dan seketika berjalan menuju pintu kamar anaknya itu.
Benar saja, pintu itu Aaron kunci. Agung dengan tensi yang belum stabil mengetuk keras pintu kayu itu, "Aaron Wijaya!" bentaknya.
Tapi tak ada jawaban dari si anak bungsu, membuat Jake kembali bersuara, "yaudah gapapa, aku tidur di kamar kosong diatas aja." jawab Jake.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puncak Wijaya
FanfictionDalam universe, ketika kunci keharmonisan keluarga adalah candaan, belum tentu semua dapat di lewati dengan tawa; ada aja tangis meski gak banyak, tapi ketiga anak cowok wijaya belajar untuk dewasa; dari seiringnya waktu. Perkenalkan, Keluarga Wijay...