Penambah Yang Tak Terduga

134 13 0
                                    

Siapa sangka jika haid tidak lancar selama dua bulan itu, kini berakhir menjadi sebuah janin yang sudah berusia hampir dua bulan pula?

Iya, itulah yang dirasakan kedua pasangan suami istri ini manakala melihat hasil USG yang dijelaskan oleh dokter kandungan.

"Ini hal yang biasa Bapak-Ibu."

Meskipun berkali-kali sang dokter menjelaskan bagaimana bisa hal ini terjadi, tetap saja bagi suami istri ini cukup tak bisa mereka terima.

Kehamilan anak kedua ini justru sangat tidak terencana.

"Gimana ini, A?" tanya sang istri ketika ia selesai menerima obat dan vitamin dari dokter kandungannya.

Agung hanya menatap sebelum menghela napas berat, "yasudah mau bagaimana lagi? Mungkin Tuhan memang menitipkan anak itu pada kita." jawabnya Sebagai seorang kepala keluarga.

Namun berbeda dengan sang istri yang kini merasa gelisah. "Iqbaal saja kita belum mampu memenuhi kebutuhannya, apalagi anak ini, A." sang istri mengeluh.

Memang, sejak tiga bulan kelahiran Iqbal, nafkah keluarga hanya berpatok pada Agung yang bekerja sebagai dosen tetap baru. Itupun gaji yang awalnya seratus tujuh puluh delapan ribu, kini menjadi lima ratus ribu rupiah saja.

Sang istri masih dalam masa cuti enam bulan, gaji masa cuti melahirkan tentu setengah dari gaji aslinya saja.

Tak ayal, mereka terkadang kesulitan untuk membayar sewa rumah dan popok sang bayi.

Agung terduduk diam, bagaimanapun anak adalah titipan tuhan, sesulit apapun keadaan mereka, ia tidak boleh membiarkan anak yang ada dalam kandungan istrinya menjadi korban.

"Aku akan balik kerja kalo gitu." ujar sang istri membuat Agung menoleh.

"Iqbal masih butuh kamu, Yuna." tahan Agung. Istri yang bernama Yuna ini masih berpegang pada keinginannya.

"Daripada nanti perut aku semakin besar dan masa cuti aku makin lama, aku harus kerja di bulan ini lagi, setidaknya aku ikut bantu kamu soal anak kedua kita ini."

Tak bisa melawan, Agung hanya terdiam. Ada benarnya perkataan sang istri, ia sendiri tak mungkin sanggup membiayain keluarga kecilnya ini dengan keadaannya yang sekarang.

Bagaimanapun ini kali pertamanya menjadi seorang suami sekaligus ayah.

-o-

"Aku nggak mau, A."

Yuna menolak dengan raut wajahnya yang sedih mana kala, sang suami memberikan sebuah kabar gembira bagi Agung.

"Aku nggak mau ngerepotin keluarga kamu." sambungnya lagi menggenggam kedua tangannya sendiri.

Agung meraih tangan kecil istrinya itu, "ini nggak ngerepotin, Na. Tapi justru baik orang tuaku ataupun orang tuamu ingin membantu kita." katanya.

Ya, setelah berminggu-minggu kalang kabut bagaimana mencukupi biaya hidup dan menyimpan biaya persalinan, Agung akhirnya memutuskan membicarakan kepada orang tua dan mertuanya. Beruntung, orang tua sang istri berencana memberikan satu rumah untuk mereka tinggalin sehingga mereka tak perlu memusingkan lagi bayar sewa perbulan, dan orang tua Agung sendiri akan memberikan satu buah mobil untuk akomodasi mereka berdua.

"Papa dan Mama mu mau kalo kita tinggal dekat dengan mereka. Orangtua ku pun mau agar cucu mereka lahir tanpa ada halangan." jelas Agung, namun Yuna masih menunjukan ekspresi sedihnya.

Puncak WijayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang