Beau 2.

822 71 13
                                    

Jika saja Namjoon punya cuping telinga yang mencuat tinggi di atas kepala, pasti sekarang sudah tertekuk lesu sembari menatap mata kaki. Beda dengan Seojoon yang berdiri tegap dengan dada membusung.

Mereka, kakak beradik itu tengah hadap-hadapan dengan pria paruh baya yang melipat tangan depan dada.

"Angkat wajahmu, Kim Namjoon." Titah itu tidak menggunakan nada tinggi, tapi efeknya seketika membuat yang punya nama menegakkan punggung. Patuh tanpa pikir dua kali.

"Katakan. Kau sungguh ingin berkeliaran bebas di luar sana dari pada hidup layak di rumah sendiri? Ini bukan kali pertama kau pulang setelah tanpa kabar entah ke mana dan jangan bawa-bawa ibumu sebagai alasan. Kau seorang laki-laki dan jawab aku dengan jelas, sekarang."

Jika saja Seojoon bisa tertawa lepas sambil mencela, pasti akan dilakukan karena Namjoon jelas tampak kesulitan mengatur napas juga beberapa kali menelan ludah hanya untuk menjawab pertanyaan ayah mereka. Bulir-bulir keringat yang dingin menusuk kulit, menghiasi kedua sisi pelipis Namjoon.

"Maaf, Ayah. Namjoon tidak kabar Ayah. Namjoon bantu—"

"Tata kalimatmu dengan benar, Anak Manja! Demi apa, kau ini seorang Alpha, tapi kenapa ucapanmu mirip bayi?" potong ayahnya.

Namjoon menelan ludah lagi. Dia sebenarnya ingin berucap normal, sungguh! Tetapi, lidah dan otaknya tidak sejalan. Karena semakin dilakukan, bahkan dipaksa demikian, yang terucap dari ujung lidahnya malah patah-patah.

"Nam-joon ... Na-Namjoon ... bu-bukan suka tidak di-di-di ...."

"Oke, cukup." Ayahnya menghela napas, memijat pangkal hidung sejenak sebelum kembali menatap anaknya itu, tapi baru buka mulut, suara lain menengahi mereka.

"Ayo, para Pangeranku, kita makan dulu. Bisa lanjutkan nanti acara mesranya," panggil si ibu dari ambang pintu, suaminya berpaling.

"Songhee sayang. Aku—"

"—atau silahkan masak sendiri makanan kalian. Aku duluan." Begitu katanya lalu menarik diri ke ruang makan, yang mana segera membuat ke tiga laki-laki di sana bergegas menyusul. Tak mau dibuat menderita jiwa raga karena tidak mengikuti tawaran mulia Sang Ibu.

.

"Ajak adikmu juga. Kau dengar aku?" tanya Songhee setelah mengambil sekop kecil tanaman dari tangan putra sulungnya lalu mulai mencacah seember tanah gembur untuk dimasukkan ke pot keramik mungil. "Sesekali dia harus tahu bagaimana rasanya berada di tengah-tengah kerumunan manusia sebaya. Bukan dengan teman kecilnya melulu."

"Bukannya ibu sendiri yang membuatnya begitu? Kalau sekolahnya dilanjutkan, pasti dia punya banyak teman juga."

"Aku tahu apa yang kulakukan. Jangan membalik kalimatku, Kim Seojoon." Dia tentu ingat kenapa sampai tak mengizinkan si putra bungsu bersekolah normal. Mana ada ibu yang rela anaknya dijadikan budak orang-orang jahat? Biar itu teman, guru atau malah kepala sekolahnya sekali pun. Namjoon terlalu baik dan jadi sasaran untuk dimanfaatkan. Entah hal apa itu. "Kau mau adikmu mendadak jadi anak buah suatu geng kriminal karena tangannya ringan?"

"Mana mungkin, Bu? Hal macam apa yang bisa dialami anak usia remaja—"

"Diculik, dijual, organ tubuhnya diambil, atau paling mungkin dijadikan buruh pabrik. Belum lagi kalau bertemu penjual narkotika, tampang bagus adikmu bisa jadi modal utama. Kau pikir aku tak punya pikiran?"

Seojoon menipiskan bibir. "Ibu ... kebanyakan nonton berita. Si Pups tak semudah itu diperbudak."

"Jangan remehkan naluriku, Anak Muda."

Seojoon segera menatap ke kejauhan, ke sosok yang dimaksud. Dia di sana, tengah menggali tanah dengan giat untuk mengumpulkannya ke ember sebagai tambahan di pot mungil Songhee, lalu mendadak berhenti dengan pekik riang. Cowok itu berlari cepat sambil entah membawa apa di tangan, memanggil-manggil ibunya. Yang kemudian, kakinya terjerembab dan jatuh mencium tanah.

Beautiful Disaster | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang