Beau 5.

599 66 19
                                    

Dengan baik dan juga kebetulan memang butuh tenaga tambahan, Seojoon mengajak adiknya bekerja. Pergi memperbaiki pagar besi dari sebuah rumah mewah yang tengah direnovasi. Ayah mereka punya usaha kecil-kecilan, sebuah bengkel khusus yang bisa memperbaiki alat-alat dari besi atau metal. Kim Junwoo sangat berbakat dalam hal semacam itu dari sejak dia remaja. Bengkel yang untungnya tak pernah sepi itu adalah hasil jerih payahnya sendiri.

Dan, Seojoon sangat mewarisi bakat si ayah. Dia jadi asisten sejak lulus kuliah, juga sengaja mengambil jurusan yang berkaitan. Lain dengan si adik, dia hanya diizinkan membantu dan itu pun dalam pengawasan karena punya kecenderungan melukai diri sendiri secara tak sengaja.

"Pemilik rumah itu adalah anak konglomerat yang nama dan perusahaannya ada di seluruh Seoul. Kau tahu kalau berurusan dengan orang kaya harus bagaimana, bukan?" tanya Seojoon tanpa mengalihkan pandangan dari kemudi.

"Harus hati-hati dan teliti."

"Benar. Jadi, selain yang sudah kukatakan tadi, jangan sekali pun kau punya inisiatif sendiri. Mengerti?" Namjoon mengangguk, tak memandang Seojoon dari melahap penuh menggunakan matanya ke jalanan yang mereka lewati.

"Mengerti, Hyeong."

Jawaban barusan membuat Seojoon akhirnya berpaling. Jalanan yang mereka lalui dipenuhi pepohonan asri sepanjang kiri kanan sisinya. Seperti berada di pegunungan padahal bukan. Ya. Memang sejauh dan seluas itu, tapi mereka sudah berada di halaman luar si rumah mewah.

Tas peralatan yang tadi diserahkan untuk dipegangi, sungguhan masih dipeluk erat oleh Namjoon. Adiknya patuh dan tenang, tidak lagi seperti sebelumnya yang selalu bertanya apa ini, apa itu sepanjang jalan saat diajak Seojoon berkeliling.

"Kau oke, Pups?" Namjoon membuang wajah ke sebelahnya. Setengah rambutnya diikat rapi oleh Songhee, agar pandangannya jelas berhubung yang bersangkutan tak mau potong rambut. Lain dengan Seojoon yang berpotongan cepak undercut. "Kau tidak cerewet seperti biasa dan itu jujur mengangguku."

"Um. Bukannya Hyeong selalu minta Namjoon diam?"

Seojoon mengeratkan jemari di setang kemudi. Dia menatap ke depan lagi. "Maksudku, kau tetap hening dan tenang begini. Aku jadi kesal karena ... karena, ah—terserah!" Dia menolak mengakui kalau rindu sikap berisik si adik.

Namjoon mengerjap. Heran kenapa kakaknya mendadak uring-uringan, dia jadi kembali merasa tak enak. Baru saja saling bercakap-cakap, Namjoon sekejap membuat suasana canggung. Astaga. Dia langsung bingung. Dipeluknya tas biru tua semakin rapat, lalu menggumamkan rasa bersalah kepada Seojoon.

"Kita sampai. Tetap di sekitarku, oke? Jangan buat kegaduhan tak perlu," ujar Seojoon seketika setelah menarik rem mobil juga mematikan mesin, entah tadi mendengar Namjoon atau tidak, dan dengan patuh si bungsu ikutan turun. Mereka mulai sibuk mengeluarkan peralatan.

Ada jalinan pagar besi meliuk yang harus diperbaiki. Kata Seojoon, tinggal sedikit lagi berhubung kemarin hujan. Nanti bagian lain akan diperiksa ulang sekalian jeruji lantai dua. Jalinan pembatas itu tinggi juga meliuk indah. Berdiri mengelilingi seluruh area halaman belakang yang langsung menuju lembah di bawah sana. Area perumahan elit yang memang hanya dimiliki oleh kalangan atas, karena jauhnya lokasi dan butuh perawatan ekstra. Seperti, pengaman anti maling atau penghalang hewan buas, ya, sesuatu semacam itu.

Sambil sesekali ditegur karena perhatiannya teralihkan oleh keindahan pemandangan juga bangunan yang tidak bertingkat banyak tapi, cukup modern dan asri, Namjoon telaten membantu Seojoon, terus di sisinya ketika dibutuhkan. Seorang pelayan sekali waktu datang menegur Seojoon, entah berbicara apa lalu pergi dan datang lagi dengan senampan penuh kudapan juga minuman segar. Kebetulan saat datang dan dihidangkan, Seojoon tengah sibuk dengan percikan api di sana, jadi Namjoon yang membungkuk sopan berterima kasih lalu kembali ke posisi siaga.

Beautiful Disaster | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang