Beau 9.

541 61 22
                                    

Suara kunci diputar di lubangnya sampai kelotak tanda pintu terbuka, tertangkap demikian jernih di telinga. Desah kaget, kalimat tanya tak percaya, lalu teguran sapa, memenuhi benaknya. Menggeser perhatian dari semua denyut alunan kehidupan diri sendiri yang jadi hiburan sejak lama, degup jantung menggema juga napas berima.

"Namjoon? Sayang, kau mendengarku?" Itu Songhee ibunya.

"Hei, Pups. Radio ini kesayangan nenek, tahu. Mentang-mentang kau dimanja, bukan berarti boleh merusaknya sampai tinggal sepihan juga. Haish. Merepotkan. Rantai pasti rusak lagi, Bu. Lihat, anakmu yang kelebihan otot itu." Seojoon menggerutu seperti perawan tua. Syukurlah.

"Namjoon, Sayang? Kau ... astaga, Seojoon, lekas buka jerujinya! Adikmu tak bergerak! Cepat!"

"Tenanglah, Bu. Dia paling hanya malas gerak. Anakmu itu cuma kelelahan, jadi—aw-aw-aw-aw! Iya-iya! Jangan pukul aku! Kuncinya tak masuk-masuk, Bu! Ya, ampun."

Kakaknya benar. Namjoon hanya malas bergerak. Sekujur tubuhnya nyeri. Seluruh persendian seperti berkeretak siap lepas. Tenggorokan juga perih. Dan, jangan lupakan yang di antara selangkangan, sudah amat lengket basah karena terpaksa masturbasi berkali-kali.

Namjoon terlalu lelah juga malu. Suaranya tak keluar saat Songhee membangunkannya sementara Seojoon membuka borgol di pergelangan. Dia mengomeli Namjoon kalau direpotkan lagi untuk kembali memasang rantai itu ke pengait di tengah ruangan yang sudah dibeton.

Ya. Namjoon ingat betul bagaimana dia sangat marah dan menyalahkan alunan klasik musik di seberang sana. Apalagi karena tertahan rantai, yang mana semakin membuatnya beringas mengamuk. Dia tak puas sebelum membuat radio antik itu berhenti bersuara karena dia merasa dicemooh atas keadaan.

Yang padahal tentu saja tidak ada yang mengejeknya sama sekali.

Dan, akibatnya sekarang, seluruh jemarinya lemas. Kedua pergelangan tangan nyeri luar biasa, tapi Namjoon menahan diri mengerang sakit agar tak semakin membuat ibunya khawatir.

Selesai membasuh wajah juga tubuh si anak seadanya, Songhee tak henti merecoki Seojoon agar berhati-hati memapah Namjoon keluar.

Setelah dua hari penuh masa derita Namjoon yang sendirian di pondok terasing melawan gelombang adrenalin juga birahi, dia akhirnya bisa pulang.

Dua hari penuh derita karena dia harus mengendalikan monster dalam diri, sampai akhirnya mereka berdamai. Mereka bersedia kerjasama agar mendapatkan yang mereka inginkan. Jadi, kekuatan Alpha yang gahar itu, hanya keluar jika diperlukan juga dalam kendali Kim Namjoon sepenuhnya. Kalau menolak diajak demikian, Kim Namjoon akan sengaja mengasingkan diri lalu berperang melawan sejatinya sampai tubuh hancur sendiri. Selama apa pun itu.

Karena sama-sama menolak pilihan terakhir, Namjoon sekarang bisa lega begitu menghirup udara luar.

"Pups! Jangan menusuk daguku pakai hidung begitu! Nanti kita jatuh, astaga!"

"Hyeong wangi enak," lirih Namjoon. Suara pecah barusan miliknya?

"Oh. Baiklah. Kami memang sempat foto bersama kemarin itu. Baunya nempel, ya? Kenapa aku tak mencium apa pun? Eh? Hei. Tung—Oi, Pups! Apa-apaan kau?! Jangan main panjat—"

Songhee menampar tengkuk Seojoon. "Hati-hati bawa adikmu!"

"Astaga, Bu! Lihat dengan baik siapa yang harusnya disalahkan. Dia bukan bayi, demi Tuhan, tapi maksa digendong depan begini. Jangan gerak-gerak! Kau berat!"

"Yang benar, Seojoon! Nanti adikmu jatuh!" Songhee menampar lengan gemetar yang menahan berat tubuh beban lain yang seenaknya menggelayut.

"Kenapa malah dimarahi, Bu?! Aku menderita!"

Beautiful Disaster | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang