Beau 4.

618 66 12
                                    

"Tidak. Aku menolak percaya kalau si Pups semudah itu bertemu matenya. Memang ini dunia fantasi? Novel percintaan? Drama berseri? Hah!"

"Kau iri." Ibunya menyeletuk. Seojoon membuang pandang.

"Terlalu cepat. Terlalu kebetulan. Tetapi, apa kau yakin, Nak? Dia laki-laki ...." Tamparan ke lengan segera membuatnya terkesiap. Istri tercinta mengernyit protes padanya.

"Kalau iya memang kenapa? Tak suka anakmu akhirnya bertemu belahan jiwa? Begitu, Joonwu?"

"Bu-bukan begitu, Sayang. Siapa tahu saking mendadaknya, dia salah kira, iya 'kan?"

Namjoon hanya menatap bergantian kedua induk semangnya yang masih adu argumen sejak kemarin. Seojoon di sana, juga hanya mengamati dengan penuh curiga atau entah berpikir apa dan tak lanjut mengomelinya, karena Namjoon mengaku bersalah bulat-bulat.

Isi ruang keluarga itu ramai dengan berbagai pendapat. Mungkin karenanya, udara jadi terasa pengap untuk Namjoon. Dia menarik napas dan berucap hati-hati kemudian.

"Boleh Namjoon beri makan kelinci Satu Dua?" Tidak ada kesalahan dalam penyebutan nama. Itu memang nama peliharaan Namjoon dan seketika para orang dewasa di sana berpaling padanya. "Ayah, Ibu, Hyeong, bisa lanjut."

Songhee yang menanggapinya. Segera meremas pelan bahu juga mengusap rahang si bungsu, mengizinkannya ke pekarangan. Sejak pulang dari acara dan mendengar penuturan amarah khawatir dari Seojoon soal yang terjadi, Namjoon jadi lebih sering melamun. Walau memang fokusnya tetap penuh seperti biasa ketika diselidik lebih jauh oleh kedua orang tuanya, tapi pembawaan si bungsu dalam rumah jadi terasa terlalu tenang. Sikap itu tentu membuat ibunya kepikiran. Tidak. Ayah dan kakaknya juga.

Padahal, Namjoon hanya ingin kembali meresapi ingatan akan aroma manis juga perwujudan cantik sosok itu. Otaknya tak mau memikirkan hal lain karena percaya, mereka akan bertemu lagi. Namjoon, sebenarnya tengah menunggu. Besok? Lusa? Besoknya lagi? Entahlah. Asalkan bisa bertemu, Namjoon tak mengapa terus memikirkan si dia.

Namjoon terkesiap dan reflek menjatuhkan seluruh makanan para kelinci, hewan-hewan berbulu yang lucu itu segera mengerumuni tumpahan di tanah. Tuannya yang biasa protes karena diganggu, sekarang malah hanya mengamati pelaku yang mengagetkannya. Duduk di sebelahnya dengan lutut terbuka.

"Hyeong ?"

"Kau yakin aromanya wangi?" Ternyata masih kepalang terusik dengan pengakuan tempo hari. Yang ditanyai mengangguk cepat.

"Wangi buah. Vanila. Manis. Lembut."

"Kau menyentuhnya?"

Namjoon menggeleng. "Dia yang sentuh. Pipi. Manis, katanya," mengingat itu, Namjoon tersenyum sambil menyentuh lesung pipi. Tersipu sendiri, karena cetak wajah cantiknya kekaguman yang terulas depan mata. "Oh! Iya. Namjoon memang sentuh. Tangannya. Namjoon tahan tidak pulang. Halus sekali."

Seojoon menghela, dia beralih mengamati dua kelinci yang sibuk makan dengan tenang. Namjoon sadar raut wajah kakaknya berubah, dia tak lagi tersenyum.

"Apa ... Namjoon salah, Hyeong?" Jujur, Namjoon jadi merasa bersalah karena dua orang tuanya juga masih lanjut adu argumen membahas apa yang terjadi padanya.

Seojoon mendengkus. "Kau mendadak hilang tanpa bilang-bilang, itu sungguh membuatku kesal. Aku nyaris membongkar tiap stand kalau saja tak ada yang sadar ke mana dirimu berlari. Ya. Kau salah di sana," jawabnya, kembali mengamati si adik, yang sekarang menekuk muka.

"Maaf, Hyeong. Namjoon hanya ikut wangi angin. Tak tahu yang lain."

"Itu naluri. Aku pun punya dan semakin kesal, karena kau yang duluan merasakannya. Bukan sepertiku, yang cuma berbekal teori klasik dahulu kala."

Beautiful Disaster | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang