Beau 19.

638 71 21
                                    

Namjoon menghambur ke dekat ranjang, berlutut untuk meraih jemari Seokjin yang terduduk bersandar, menempelkan telapak hangat kekasihnya di pipi sendiri. Sangat bersyukur pada siapa pun karena akhirnya bisa dibolehkan bertemu.

"Mate—" Tenggorokan Namjoon tercekat. Air matanya jatuh dulu sebelum dapat menyelesaikan kalimat.

Seokjin menggeleng lemah. "Jangan nangis. Aku yang mengandung kenapa kau yang menderita?"

"Mate, tidak bilang ke Namjoon kalau ...." Matanya langsung menatap ke arah perut Seokjin dan dengkus tawa empunya segera membuat Namjoon kembali mengalihkan tatapan. "Bagaimana rasanya?"

Seokjin mencubit ujung hidung Namjoon. Cowok itu berkaca-kaca segera.

"Entahlah. Kadang menyebalkan. Kadang lucu. Aku tak tahu bagaimana menggambarkannya karena ini pertama kalinya buatku."

Namjoon dengan ekstra pelan dan hati-hati mengusap perut Seokjin. "Apa ... sungguh ada ... bayi? Bayi? Dalam perut Mate? Bagaimana?"

"Kau yang beritahu aku. Kau yang menanamkan benih secara paksa padaku, bukan?" Namjoon menipiskan bibir yang kembali gemetar. Seokjin mencubit ujung hidungnya.

"Jangan nangis, kubilang." Namjoon mengangguk. Seokjin melanjutkan. "Kau ingat? Aku sudah minum pil untuk mencegah kemungkinan, pun aku tidak dalam masa subur. Siapa sangka aku malah nyaris membunuh jabang bayi ini karena mengira demam kemarin cuma akibat kelelahan? Aku sungguhan tidak kena morning sickness." Namjoon menelengkan kepala, Seokjin menggeleng." Lupakan. Kurasa, kehadirannya sekarang adalah teguran keras untuk kita berdua."

Namjoon mengerjap. Jejak air mata di pipinya, segera diusap Seokjin. "Untukku yang tak kunjung berani menjawab keinginan hati agar kita segera bersama dan bukannya hanya ingin main di ranjang saja sebagai permainan semata, juga untukmu yang tidak bisa mengalahkan ego atau membedakannya antara amarah juga birahi yang tak peduli akan konsekuensinya di kemudian hari."

Namjoon meraih telapak tangan Seokjin, mengecup lama tanpa memutus pandangan mereka. Wangi kekasihnya sangat harum dan pekat, manis juga hangat, atau Namjoon tak tahu lagi bagaimana mengatakannya karena dia hanya ingin berada di dekatnya.

"Dan, kurasa, orang tuaku sudah bertemu denganmu dan mengatakan semuanya?" Namjoon mengangguk. "Apa mereka memaksamu? Memarahimu? Atau, bahkan sampai mengancammu untuk segera menikahiku untuk ambil alih binisku sesuai keinginan mereka? Katakan padaku, Namjoon. Kumohon."

Seokjin tampak pucat, tapi cantiknya tak lekang atau pun berkurang. Namjoon mengusap asal rasa basah di kelopak mata sendiri juga menarik ingusnya sebelum berkata, "Mate tak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja. Kita akan bersama sebentar lagi. Mate, harus kuat, supaya bisa Namjoon ajak menikah."

"Sayangku."

"Tidak ada yang mengancam Namjoon atau semacamnya. Namjoon sudah sangat beruntung dan tak bisa minta hal lain lagi."

Seokjin mengerjap. Dia diam menimang, lalu tersenyum tipis. "Sungguh? Kau tidak diapa-apakan Pa?" Namjoon menggangguk. "Baiklah. Kalau begitu, aku ingin kau naik ke sini dan memelukku sampai pagi. Tak tahu kenapa, sebelumnya aku sangat benci mencium aromamu bahkan siap mematahkan hidungmu kalau berani datang, tapi sekarang aku tak mau lepas barang sebentar."

Begitulah. Namjoon beranjak ke sisi Seokjin dengan sangat hati-hati sampai kekasihnya gemas untuk lekas dan akhirnya mereka saling peluk. Lebih kepada Seokjin yang menyandarkan kepala di dada Namjoon, memeluk perutnya.

"Mate mau sesuatu untuk dimakan?"

"Aku masih kenyang bubur buatan ibu."

"Yang lain?"

Beautiful Disaster | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang