Beau 12,

537 64 12
                                    

Namjoon seketika melunturkan senyum di wajah begitu buka pintu rumah. Seojoon berdiri tegap dengan lengan terlipat depan dada. Persis seperti yang sudah-sudah kalau Namjoon memutuskan pergi dalam waktu lama. Tanpa kabar.

Yang, ya, memang benar demikian. Tapi, hei! Cuma satu malam saja!

"H—"

"Kau mau ikut atau tidak?" potong Seojoon membuat dahi Namjoon mengerut. Otak si adik sedikit lama mencerna karena masih terlena buaian peluk hangat dan wangi semalam. Seojoon menghela pendek. "Ke Ilsan."

Namjoon seketika menarik napas kaget, kakinya berderap menuju kamar, tapi seketika berhenti, berpaling ke Seojoon.

"Belum rela lepas dari pacarmu?" tanyanya telak mengatupkan mulut Namjoon yang terbuka. "Kalian semalaman belum puas? Bahkan, aromamu sekarang ...." Seojoon menggeleng gerah lalu berpaling pergi.

"Hyeong!"

Seojoon mendadak merentangkan lengan, tepat menunjuk hidung Namjoon yang untungnya sigap berhenti. "Dengar. Ibu dan ayah tahunya kita menyusul setelah kerjaan selesai. Aku tak sudi menjadi juru bicaramu jadi beri tahu ibu kalau kau mau tinggal atau apa," katanya lalu mendumel sendiri, masuk ke kamar untuk mengambil tas ransel dan berjalan ke luar menuju mobil.

Namjoon segera meraih ponselnya dan menghubungi si induk semang di sana. Dia berjalan mondar-mandir dengan was-was sementara Seojoon sudah memasukkan tasnya ke kursi belakang. Begitu diangkat, Namjoon tak menyaring kalimat dan menceritakan semuanya. Entah dia mengambil jeda atau tidak saat mengutarakan keseluruhan sebab-muabab dirinya batal ikut.

Dan, seperti yang sudah diduga Seojoon, adiknya yang segera berlari menuju ke arahnya yang menunggu di balik kemudi adalah bukan karena ingin segera naik. Sebaliknya.

"Hyeong—"

"Jangan macam-macam saat kami tak ada. Jaga para kelinci dengan baik. Kalau kau lapar masak seadanya bahan di kulkas atau beli sendiri." Seojoon lagi-lagi memotong kalimat Namjoon. Adiknya mengangguk dengan senyum senang. Si kakak menekuk alis melihatnya. " ... kau ingat dia bertunangan, 'kan?"

Namjoon mengangguk. "Mate bilang, akan batalkan pertunangan, walau susah. Mate, juga mau bersama Namjoon. Mate ingin Namjoon."

Seojoon mengetuk-ngetuk setang kemudi. "Pasti kau yang minta jadian duluan, 'kan?"

"Tidak, Hyeong. Mate yang bilang."

"Kau payah kalau begitu. Alpha apanya? Heh."

"Hyeong juga."

Seojoon mendelik padanya. "Aku kenapa?"

"Sama Nayeon apa kabar?" Seojoon mengumpat sekalian membuka pintu mobil, tapi Namjoon sigap menggunakan kakinya untuk menahan pintu. Mereka berkutat perang tangan kaki kemudian. Yang satunya campuran marah karena mobilnya yang dikotori sepatu Namjoon sekalian ingin menghampiri adiknya itu untuk mendaratkan bogem mentah, sedang lainnya bertahan menahan pintu dan janji takkan menggunakan kaki kalau Seojoon tak keluar dari mobilnya.

Yang akhirnya si sulung memilih kalah dan tetap di dalam mobil. Berdeham keras melampiaskan kesal sebelum bertanya, "Kalian sudah sampai mana memangnya? Pakai bermalam segala."

"Sampai?" ulangnya.

"Kau tahu maksudku, Pups."

Namjoon seperti tersadar dan berusaha menemukan kata-kata. Niatnya berucap tanpa terdengar vulgar, tapi kenyataannya apa yang mereka lakukan kemarin itu, jelas-jelas erotis nyaris meliar.

Satu alis Seojoon mengedik. Namjoon berdeham. "Uh, Namjoon itu," katanya menggerakkan jemari dengan ambigu.

"Yang jelas."

Beautiful Disaster | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang