Delapan : Permintaan Kahfi

221 11 2
                                    


KAHFI tidak main-main dengan ucapannya ketika mengatakan 'boleh' atas pertanyaan Ayana ketika itu. Tetapi, tidak sungguhan di hari besoknya juga, karena Ayana menolak untuk dimajukan, katanya dia cuma bercanda saja.

"Umma, kalau pernikahannya dimajukan menjadi besok, apakah tidak masalah?" Kahfi bertanya kepada Elena ketika itu.

Apakah Elena kaget? Oh, iya jelas. Tentu saja kaget. Elena membelalakan matanya. "Hah?"

"Tadi, Ayana meminta kepada saya untuk dimajukan pernikahannya menjadi besok, Umma."

Elena menatap putrinya yang seketika gelagapan.

"Eng-enggak, Umma. Ih, bapak!" ucapnya memukul paha Kahfi yang duduk disebelahnya.

"Bukannya tadi kamu yang meminta?" tanya Kahfi.

Ayana meringis. "Itu,"

"Tidak apa-apa jika kalian memang mau, tapi, kenapa tiba-tiba sekali?" tanya Elena.

"Putri Umma sudah bosan bertemu dengan Haidar." jawaban yang diberikan Kahfi membuat Ayana melotot.

Elena menatap putrinya, kemudian terkekeh. "Bener, Na?"

Ayana gelagapan. "Ha? Eng-ngga kok, Umma. Aku cuma bercanda aja, gak beneran."

Elena menganggukkan kepalanya sambil terkekeh. Ia tidak heran jika memang benar yang dikatakan oleh calon menantunya itu. Putri bungsunya ini sering sekali mengatakan bosan berada satu rumah dengan putra sulungnya.

Ayana memilin jari-jari tangannya. Duduk diantara keluarganya dan juga keluarga Kahfi membuatnya bergidik ngeri. Salahkan mulutnya yang suka menggampangkan suatu hal.

"Makanya, jangan sok-sok'an minta dinikahin besok." ejek Haidar.

Ya, iyalah. Siapa lagi yang mulutnya nyinyir selain Haidar kakaknya itu.

"Apasih?!"

"Apasih? Nyenyenyenye."

"Um-

"Ngadu, ngadu. Emang susah kalo ngomong sama bocah mah. Dikit-dikit ngadu, dikit-dikit ngadu. Dasad anak Umma."

Bunda untuk AyraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang