01 : Belajar Bersama

52.5K 1K 71
                                    

“Adek kok dapat nilai F?”

Jeno menunduk takut usai menyerahkan selembar kertas kutukan kepada sang Bunda. Kertas hasil ulangan hariannya. Huruf F merah amat besar terlihat menghiasi permukaan kertas tersebut. Memicu tatapan tajam wanita paruh baya di hadapannya. Persis seekor macan betina yang tengah membidik mangsa. Air muka wanita itu langsung berubah ketika menatap selembar kertas lainnya.

“Liat ini Kakak aja bisa dapat A. Kok Adek nggak bisa? Adek nggak belajar ya?”

Mark tersenyum jumawa mendengar pujian dari Bunda. Di sisi lain dia merasa kasihan melihat nyali adiknya kian menciut akan pertanyaan Ibu mereka. “Adek belajar kok, Bun,” cicit Jeno.

“Tapi... Soalnya memang susah...,” lanjut lelaki yang lebih muda itu dengan tebata-bata. Mengundang helaan napas ibunya.

“Kalau begitu Adek harus belajar lebih rajin lagi. Kurangi main game dulu. Besok ulangannya apa?”

“Biologi...”

“Mulai hari ini Adek belajar sama Kakak, ya,” Bunda beralih menatap putra sulungnya. “Kakak belajar sambil bantuin Adek nggak keberatan, kan? Dulu Kakak sudah pernah dapat materi itu, jadi Bunda minta tolong kamu ajarin adekmu.”

“Siap, Bun. Kakak nggak keberatan kok.”

Labium Bunda membentuk kurva lengkungan ke atas. Tidak mudah memainkan peran sebagai orang tua tunggal bagi kedua putranya. Karena kondisi, dia dituntut menjadi Ibu sekaligus figur Ayah untuk Mark dan Jeno dalam satu waktu. Karena itu dia harus tahu kapan bersikap tegas dan kapan bersikap lembut. Semua usaha terbaik dia lakukan untuk memastikan kedua putranya mendapat kasih sayang yang cukup. Meski hanya darinya sendiri.

“Yasudah kalau begitu, kalian ganti baju dulu gih. Setelah itu makan siang, Bunda sudah siapkan makanannya di meja makan,” tutur Bunda yang kemudian menyingkir untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Mark dan Jeno lantas beranjak pergi ke kamar mereka masing-masing. Malam harinya Mark menyelinap masuk ke kamar adiknya. Terlihat lelaki yang lebih muda satu tahun darinya itu tengah sibuk berkutat dengan buku-buku pelajaran. Dia bawa sepasang kaki jenjangnya dari ambang pintu untuk menghampiri sang adik. Menyadari kehadiran makhluk lain di dalam kamarnya, Jeno refleks menoleh pada sumber suara langkah kaki.

“Kakak ngapain ke kamar Adek?” tanya Jeno disertai tatapan heran.

Sebab jarang sekali sang kakak bertandang ke kamarnya. Mark yang dia tahu lebih suka menyibukkan diri belajar di kamarnya sendiri. Tidak biasanya lantai kamarnya mendapat taburan bau kaki sang kakak, bahkan sampai mengunci pintu kamarnya yang biasa dibiarkan terbuka selama Jeno belum tidur.

“Kamu lupa tadi siang Bunda bilang apa?” Mark mendudukkan diri di samping adiknya, pada lantai kamar berlapis karpet beludru. “Mulai hari ini kamu belajar sama Kakak. Kakak bakal ajarin kamu sampai pinter kayak Kakak.”

“Tumben,” tukas Jeno menyindir.

Jika bukan karena mengemban titah Ibu Negara, Mark juga enggan meninggalkan kandangnya. Tapi karena demi sang Ibu dan suatu hal mendesak, dia harus melakukan ini. “Sudah jangan banyak protes. Ini juga demi melindungi kamu dari serangan macan betina itu lagi. Sini Kakak liat bukumu, materi mana yang akan diujikan besok?”

“Huft,” Jeno menggeser bukunya malas-malasan ke hadapan sang Kakak agar lelaki itu bisa membaca. Dia menunjuk salah satu halaman, “Yang ini.”

Sistem reproduksi wanita. Begitu judul bab materi dalam buku yang Jeno tunjuk. Mark memutar bola mata malas menatap gambar sistem reproduksi wanita disertai nama-nama bagian organ-organnya dalam buku itu. “Ngapain kamu susah-susah belajar beginian dari buku? Kamu kan punya,” tutur Mark yang mengundang kerutan dalam di dahi Jeno.

SECRET PLEASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang