5. Melangkah Untuk Maju

281 19 0
                                    


Selepas hujan yang mulai mereda, kini Fandy mulai melajukan mobilnya. Di tengah riuh suara kendaraan lain pikirannya penuh pada perkataan terakhir Zidan tadi saat di taman rumah sakit sebelum beranjak.

"Kalau semisal Zidan pergi duluan, Dokter mau kan jagain Mama. Setidaknya sampai sembuh?"

Dan balasan darinya hanya anggukan singkat serta senyum yang selalu tersemat apik di raut wajahnya.

Sampai saat kini pun Fandy masih bingung, cara agar adik angkatnya ini terlepas dari sosok Ayah yang memiliki sifat ringan tangan.

Masih ada rasa khawatir saat Zidan tetap tinggal dengan Ayahnya. Tadi saja jika dirinya tidak meneliti kembali setiap inci tubuh anak itu, mungkin luka lebam di area dada tidak akan pernah ia lihat.

"Kamu boleh tahan semuanya, Dan. Tapi, untuk masalah ini kamu nggak boleh tahan. Dokter janji apapun itu jika memang Tuhan mau ambil kamu duluan, amanat kamu aman sama Dokter." Ucapnya.

Pikiran yang berkecamuk bukan hanya pada satu hal namun banyak tersebut sampai tak sadar kini mobilnya sudah berhenti tepat di depan gerbang kediamannya.

Satpam rumah yang berjaga tiap malam itu pun bergegas membukakan pintu gerbang untuk anak majikannya.

"Makasih, Mang."

"Sama-sama, Den."

Masuk ke dalam rumah yang sudah menjelma layaknya istana tersebut, pendar Fandy langsung terarah pada Ibu dan Ayahnya yang menunggu sambil menonton acara hiburan di televisi ruang tamu.

"Ekhm! Assalamualaikum."

"Eh, waalaikum salam. Ya Allah anak gantengku udah pulang ternyata." Ujar Ibu Lasmi yang baru tersadar sang anak telah pulang.

Mendekat ke arah orang tuanya kemudian mencium tangan masing-masing.

"Kok baru pulang Fan, sibuk banget ya?" tanya Ayah.

Duduk di tengah-tengah kedua orang tuanya usai meletakkan tas di atas meja, Fandy kemudian menghela nafas lelah.

"Ya gitu deh, Yah." Jawabnya, memejamkan mata menikmati nyamannya tiap elusan di rambut oleh Ibu.

"Jangan capek-capek tapi, inget kesehatan. Kamu tau batasannya kan?"

Kalimat terakhir Ayah yang jadi pertanyaan itu terlontar bersama nada khawatir yang kembali, nada yang paling tidak diinginkan Fandy keluar.

Menatap mata kedua orang tuanya saat khawatir adalah hal yang paling ia benci.

"Tau Yah, Ayah sama Ibu nggak perlu khawatir. Fandy bisa jaga diri baik-baik kok." Jawab Fandy.

"Fan." Panggil Ibu.

"Hmm?"

"Nggak mau istirahat dulu dari pekerjaan kamu. Fokus sama pengobatan."

Menatap lekat pada netra perempuan yang telah banyak ia repotkan tersebut, Fandy genggam erat telapak tangan Ibu.

"Bu, sini dengerin Fandy. Sampai kapan pun aku nggak akan pernah istirahat dari tugas ini, ini mimpiku, Bu. Jika memang ingin mati, aku pengen mati masih menggunakan jas dokterku." Ujar Fandy.

JAS DOKTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang