11. Mereka Yang Mendekap Luka

216 15 1
                                    


Siang menjelang sore hari ini menjadi waktu yang cukup awal untuk Elvan pulang dari tugas yang ia emban.

Dan di sepanjang jalan yang ia lewati di situ pula pikiran terus berpusat pada sang adik. Banyak sekali tanya yang menjadi sumber berisik baginya.

Bagaimana caranya mendapatkan donor jantung?

Nama adiknya memang sudah berada di posisi paling atas pencari donor jantung, teman-teman dokternya yang lain juga sudah mengusahakan untuk mencari donor tersebut tapi sampai sekarang belum ada.

Setiap waktu bahkan setiap detik, rasa takut pasti ada. Takut jika nanti adiknya tidak bisa menunggu, penyakit jantung bawaan dari lahir bukanlah penyakit seringan penyakit demam.

Ini berpatut pada organ tubuh terpenting. Jantung.

Dalam bisingnya pikiran serta riuh suara kendaraan hela nafas Elvan terus berhembus.

"Maaf kalau Abang egois, tapi selagi masih ada waktu pasti bakal Abang usahain. Abang tau betul rasanya Al, tapi menyerah pada keadaan serta membiarkan kamu pergi bukanlah solusi yang baik untuk saat ini." Ucapnya.

Serius pada pemikiran yang silih berganti sampai tak sadar kini mobilnya sudah sampai di halaman depan rumah.

Memarkirkan mobil kemudian masuk ke dalam.

Tampak Bundanya sedang duduk di sofa ruang tamu sembari menonton televisi.

"Assalamualaikum, Bun."

"Waalaikum salam, eh tumben El kamu cepat pulang." Ujar Bunda sesaat setelah tangannya dicium oleh Elvan.

Elvan sendiri yang duduk bersandar di pundak Bunda, melampiaskan semua rasa lelahnya.

"Lumayan sedikit Bun, jamku hari ini. Jadi mutusin buat pulang, capek banget." Jawab Elvan.

Bunda yang baru kali ini mendengar kata capek dari anaknya membawa tangan yang sudah rentan tersebut guna mengelus surai legam sang anak sulung.

Menyalurkan nyaman yang selalu jadi candu oleh kedua anaknya.

"Lain kali kamu juga harus sering seperti ini El, kamu juga butuh me time. Jangan terlalu memaksakan diri, kamu tau sendiri kan apapun yang dipaksakan itu tidak baik." Ujar Bunda.

"Iya, Bun. Pengennya sih gitu, tapi keadaanku tidak membiarkan."

"Capek sama mimpi yang aku kejar sendiri, capek sama pikiran yang berisik pula." Sambung Elvan, sedikit berbisik karena jujur sekarang usapan Bunda membuatnya mengantuk.

"Kasihan anak Bunda, sini peluk dulu." Ucap Bunda, mengambil alih daksa Elvan untuk ia dekap. Mengelus pelan pada punggung yang kini menggantikan tugas mendiang sang suami.

"Kamu anak Bunda yang hebat sama seperti Alvin, Bunda harap anak-anak Bunda bisa kuat sampai nanti sama-sama menikmati hari tua yang tinggal duduk saja di sofa seperti ini. Mumpung kalian masih muda manfaatkan untuk mengerjakan apapun yang ingin kalian lakukan, karena semakin bertambahnya usia semakin terbatas juga aktivitas yang hendak dilakukan."

"Tapi, inget Elvan. Bukan berarti usia muda harus kerja terus, memaksakan diri secara berulang. Tapi, menikmati usia muda juga dengan hiburan biar kamu tau namanya hidup itu seperti apa. Hidup seperti koin perak, punya dua sisi yang berbeda." Sambung Bunda.

JAS DOKTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang