18. Pasrah

242 12 4
                                    


Hujan yang meredam bising suara lain di ruangan ini seakan jadi waktu yang tenang bagi sosoknya bermonolog pada netra yang masih enggan terbuka.

Tenang meski pikiran seakan diajak ribut setiap saat.

Hujan yang disertai angin cukup kencang malam ini benar-benar menjadikan suasana yang mencekam tapi bagi Elvan berada di ruangan ini melihat adiknya harus terbaring dengan selang oksigen menyumbat mulut jauh lebih menyeramkan.

Tidur yang tenang tapi tak ingin jika mata itu tidak terbuka kembali.

Alvin memang sudah beberapa hari yang lalu tidak sadarkan diri seusai kambuh saat ikut turnamen basket di sekolahnya.

"Lain kali Abang janji ya, liat Al masukin bola ke ring."

"Al pengen jadi pemain basket handal di masa yang akan datang."

"Main basket terus, lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi dan selama mungkin."

"ABANG NGGAK TAU RASANYA, MEWUJUDKAN MIMPI DALAM WAKTU SINGKAT KAYAK APA."

"JADI JANGAN PERNAH LARANG GUE BANG, JANGAN PERNAH SURUH GUE BERHENTI. INI MIMPI GUE, GUE NGGAK BISA JAUH DARI BASKET."

"TAPI MIMPI KAMU AL YANG BIKIN WAKTU KAMU SEMAKIN SINGKAT DI SINI!"

"APA KAMU TAU, DAMPAK DARI MIMPI KE KESEHATAN KAMU APA?! HAH? TAU APA KAMU?!"

Bentakan demi bentakan saat sebelum Alvin kambuh itu pun masih terngiang di benak Elvan. Bagaimana Alvin yang membentaknya agar tidak menghentikan mimpinya serta ia yang tampa sadar ikut membentak.

"Maaf... Abang nggak seharusnya kayak gitu. Abang cuman takut kehilangan kamu Al, kehilangan bukanlah hal yang menyenangkan. Abang udah kehilangan Ayah, lantas apa kamu kira kehilangan kamu akan membuat Abang senang? Tidak." Monolog Elvan.

Dan selama itu pula Elvan tidak pulang, kalau Bunda ia suruh pulang sesekali sebab tidak tega melihat beliau yang harus tidur di sofa.

Harapan untuk hidup tampa transplantasi sangatlah sedikit bagi Alvin sekarang.

Mengelus puncak kepala sang adik, menatap lekat dengan air mata yang tiba-tiba lolos.

Elvan ingin egois adiknya bisa bertahan lebih lama, namun mengingat donor jantung yang sulit dicari, apakah ia harus pasrah?

"Tidur yang nyenyak kalau kamu butuh istirahat, tapi jangan keterusan ya, Al." Ucapnya.

Kini seluruh bising di luar tidak ada apa-apanya dibandingkan suara alat EKG yang berbunyi teratur namun nyaring.

Alat yang sama sekali tidak diharapkan berbunyi nyaring serta tampak garis lurus lalu hilang begitu saja.

Elvan tidak akan pernah mampu membayangkannya.

"Udah seminggu Al, kamu nggak mau bangun dulu? Main bareng bentar, hmm?" tanya Elvan, tangan dingin adiknya ia genggam seerat mungkin.

"Abang harus apa sekarang? Kalau waktunya maksa kamu buat pasrah dan nggak ada donor, mau ya terima jantung Abang."

Elvan tidak pernah tau di balik semua monolognya, ada setetes yang jatuh saat mata itu terpejam. Mengerjap pelan guna menyesuaikan pandangan yang masih memburam.

JAS DOKTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang