13. Curiga Yang Jadi Nyata

281 15 0
                                    


"Kita mainnya jangan jauh-jauh ya nanti Mama kamu nyariin." Ucap salah satu anak dengan tinggi badan melebihi yang ia ajak bicara.

"Ah nggak seru, masa mainnya dekat mulu. Jauhhan dikit dong, bosan di sini terus mainnya." Sanggah anak yang memakai baju kuning mentereng.

Keduanya yang berhenti di bawah pohon mangga untuk beristirahat karena lelah bermain sepak bola di lapangan depan rumah salah satunya tersebut mulai berceloteh panjang. Mendiskusikan tempat di mana lagi kiranya mereka akan kembali bermain.

"Jangan nakal, Adi. Nanti Mama kamu marah sama aku." Ujar Fandy, memberi tahu.

Di saat usianya yang masih belia tapi pemikiran yang lebih dewasa dari Adika jadi sudah seperti kakak untuk anak itu. Bukan lagi sekedar teman bermain biasa.

Karena Ibu mereka bersahabat dari masih menginjak bangku kelas satu sekolah menengah pertama, jadi sudah tidak menjadi hal baru lagi melihat kedua anak ini selalu bersama dari masih sangat kecil.

Tampak Adika merenggut karena dilarang oleh Fandy untuk tidak bermain terlalu jauh sebab Mama dari Adika yang sudah mewanti-wanti mereka agar hanya bermain di lapangan kecil dekat rumah.

"Mama nggak mungkin marah sama kamu, kan ini aku yang mau." Ucap Adika kecil, tubuh yang lebih pendek dari Fandy tersebut tampak begitu lucu saat menghentakkan kakinya di atas rumput lapangan bawah pohon mangga.

Tampak Fandy yang tidak tau lagi harus berbicara apa dengan anak yang lebih muda darinya itu, dengan berat hati mengiyakan.

"Ya sudah, kita main sepeda saja sampai depan kompleks. Habis itu pulang. Dil?" ujarnya, menyodorkan tangan mungil miliknya.

Sedangkan Adika langsung menjabat dengan girang tangan Fandy.

"Dil!"

"Kamu aku boncengin aja ya, sepeda kamu kan lagi diperbaikin." Ujar Fandy.

"Ok."

Lantas kedua anak yang tidak pernah terpisahkan tersebut mulai berlalu dari area lapangan dengan Fandy yang mengayuh sepeda.

Berjalan-jalan dengan girang di sekitaran kompleks tempat mereka tinggal.

Wajah berseri serta tangan yang direntangkan milik Adika guna menikmati angin yang terasa menyejukkan selaju dengan sepeda yang dikayuh itu mampu menerbitkan senyum bulan sabit milik Fandy.

Rasa sayangnya Fandy benar-benar murni karena persaudaraan, Adika sudah ia anggap seperti adiknya sendiri walaupun usia mereka hanya berbeda beberapa bulan.

"Adi." Panggil Fandy, mengalihkan atensi anak yang ia bonceng di belakang.

"Apa?"

"Janji ya temenan terus."

"Janji dong, kita temenan terus. Main sepeda terus kayak gini."

"Adi janji ya jadi temen Fandy selamanya."

"Iya, janji. Fandy juga janji selalu ada sama-sama Adi. Seeeeelamanya!!"

JAS DOKTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang