19. Terima Kasih Semua

334 15 3
                                    


Menyambut kehilangan itu bukanlah perihal kita bisa hidup tampanya atau yang lain, tetapi perihal bisakah kita ikhlas suatu hari nanti guna melepas?

Kehilangan bukan hal yang singkat untuk dilupa begitu saja, apalagi saat seseorang itu menjadi bagian paling berharga atau salah satu yang paling bisa menjaga kita.

Orang bilang buatlah kenangan sebanyak mungkin agar jika ditinggal tidak menyesal sebab semasa hidup menghabiskan waktu sebanyak mungkin, tapi bagi kebanyakan orang yang kehilangan kenangan hanyalah sebagai pengungkit luka yang handal.

Satu hari, satu bulan bahkan bertahun-tahun terlewati pasti akan sulit lupa saat kenangan mengambil alih setiap kembali teringat sosoknya.

Rasa itu pula yang hinggap kini pada daksa yang dari belakang saja sudah terlihat berapa banyak bobot yang hilang saat penyakit itu mengambil alih.

Beberapa bulan terlewati bukan memperbagus kondisi malah semakin memperburuk, Fandy tidak menolak kemo serta terapi radiasi. Tapi, ia menolak keras saat tau jika Adika ingin melakukan transplantasi punca apalagi saat Adika sendirilah yang menjadi pendonor.

Wajah yang tiap hari menirus serta kehilangan rona, keseringan mimisan serta muntah darah rasanya tidak lagi ada harapan. Duduk di dekat makam sang kakak yang seharusnya ia ada di rumah sakit untuk menjalani kemo.

Langit yang mulai menghitam di atas sana seakan tidak menjadi penghalang, tetap tenang duduk meski segala rasa sakit menghujam di sekujur tubuh.

"Bang... gue udah rehat dari profesi gue. Dan, mungkin sebentar lagi rehat dari hidup." Ucapnya.

Hari bahkan beberapa bulan berlalu sudah cukup baginya, Fandy sadar kalau ia terlalu egois ingin hidup lebih lama saat Tuhan sudah menghadirkan takdir yang berbeda.

"Gue udah nggak mau minta lebih Bang, gue udah pasrah. Kalau pun gue terima donornya, belum tentu Adika akan tetap hidup. Semua obat mungkin bisa menyembuhkan tapi semua obat pasti memiliki efek samping." Ujar Fandy.

Hujan yang mulai turun dalam kapasitas rendah itu tidak ia hiraukan, masih ingin bercakap dengan sosok yang ia rindukan kehadirannya. Meski setiap kata akan tetap berakhir sebagai monolog.

"Gue emang bodoh, nggak mau berjuang dari awal penyakit ini ada, karena waktu itu gue udah percaya akhirnya akan sama kayak lo, Bang. Setidaknya gue masih bisa bertahan lebih lama, maaf karena nggak bisa jaga orang tua kita."

Dari rintik menjadi deras, dari kubangan kecil menjadi besar, meluruhkan kelopak bunga yang baru ditabur di atas pusara.

Kupluk yang Fandy gunakan mulai basah lantas mulai tidak terasa hujan yang jatuh, mendongak menatap payung hitam yang kini menghalau air hujan agar tidak lagi mengenainya.

"Gue cariin ternyata di sini, kenapa nggak ngajak?" tanya Adika.

Membiarkan tubuhnya basah, sebab sepenuhnya payung ia gunakan untuk melindungi Fandy. Ikut duduk di samping sahabatnya itu.

Membiarkan beku di sekitar mereka menjadi teman, dalam diamnya Fandy enggan memulai pembicaraan.

"Lo kok tau gue di sini?" tanya Fandy pada akhirnya.

JAS DOKTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang