Di ruangan yang jadi tempat Adika melepas lelah, maupun melihat banyak sosok yang menangisi setiap kertas yang ia berikan berisi kenyataan pahit tentang penyakit mereka serta tempat ini menjadi saksi melihat para keluarga atau mungkin yang didiagnosa yang berharap masih ada harapan saat sudah melakukan pengobatan.
Dan sekarang yang ada di hadapannya kini adalah orang tua dari sahabatnya, Ibu yang menjadi sahabat mendiang Mamanya, Ibu yang sudah ia anggap sebagai pengganti Mama, Ayah yang dengan sukarela menggantikan kehadiran Papa yang sudah seharusnya ada sebagai pemimpinnya meraih impian. Melihat dengan jelas keduanya kini duduk, menatap dengan binar tetap tidak meredup sampai ia mengatakan apa yang terjadi setelah Fandy menjalani kemo beberapa jam lalu.
"Bagaimana, Di?" tanya Ayah.
Tidak ingin rasanya Adika mengatakan ini. Perasaan yang selalu datang saat mengatakan hal yang seharusnya tidak keluarga pasien ketahui tapi harus dipaksa mengetahui, apalagi saat ini Fandy adalah sosok itu.
Ibu menggenggam erat tangan Adika yang dingin tersebut, saat melihat anak itu hanya menunduk saat ditanya.
Sukar sekali rasanya bagi Adika, bukan tak ingin, tapi hasilnya bukan hanya mengecewakan orang-orang yang menunggu Fandy melainkan mungkin akan mengecewakan Fandy sendiri.
"Nggak papa nak, kasih tau saja, jika itu kenyataannya kami akan dengarkan." Ujar Ibu, mengelus surai legam milik Adika.
Membawa dagu yang semula menunduk kembali mendongak.
Helaan nafas Adika hembuskan, seusai Fandy yang tidak sadarkan diri usai kemo hingga kini hasil kemo sudah keluar rasanya ia bingung harus kecewa pada siapa.
Menyodorkan amplop putih berlogo rumah sakit tersebut, kemudian menunggu sampai kedua pasangan tersebut selesai membaca.
"Maaf... Ma, Pa. Adi mengecewakan, kemo ini sama sekali tidak berefek baik untuk Fandy. Kankernya sudah terlanjur menyebar, ini karena pengobatan yang terlambat dilakukan." Jelas Adika.
Lancar ia menjelaskan bukan berarti dalam hati tidak merutuki diri karena gagal, apa yang harus ia katakan saat Fandy membuka mata nanti. Mungkin sebentar lagi anak itu akan merasakan efek sampingnya namun tidak membuahkan hasil yang baik.
"Jika terapi target dan kemoterapi terlambat dilakukan, ditakutkan kanker menyebar dan mempercepat perburukan pasien." Sambung Adika.
Ibu bawa pandangnya pada Adika kini yang menatap ke arahnya. Tersenyum tipis menghapus jejak basah yang mulai tampak.
"Masih ada jalannya kan, Di?" tanya Ibu. Tanya yang kesekian-kalinya ia dengar dari para keluarga yang masih menaruh harapan padanya.
"Ada Ma, tapi ini juga ada resikonya. Butuh keputusan yang matang dari pihak keluarga. Apalagi untuk leukemia agresif Fandy yang terlambat ditangani." Jawab Adika.
"Apa itu? Apapun lakukan Di, asalkan Fandy bisa sembuh. Mama mohon." Ujar Ibu. Ayah yang sedari tadi diam itu juga turut menangis namun sebisa mungkin ia tahan, mengusap punggung bergetar sang istri.
"Transplantasi sel punca, Ma."
"Transplantasi sel punca darah, juga dikenal sebagai sel punca darah periferal, atau transplantasi sumsum tulang, adalah suatu proses di mana sel punca darah yang sehat disuntikkan ke dalam tubuh yang perlu didonorkan untuk menggantikan sel punca yang sakit atau rusak." Sambung Adika, menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAS DOKTER
Fanfiction"KALAU PUNYA SAKIT ITU BILANG FAN!!! JANGAN LO PENDEM SENDIRI DENGAN ALASAN KLASIK NGGAK MAU BIKIN KITA SEMUA KHAWATIR! BEGO TAU NGGAK!! AKHIRNYA KITA SEMUA JUGA BAKALAN TAU DAN KHAWATIR, KITA JUSTRU MALAH KELIHATAN BODOH BANGET KARENA NGGAK TAU TEM...