20. 4 - 1 = 0 [END]

358 15 4
                                    


Hari berlalu hari, minggu berlalu minggu, begini jika memang waktu tidak ditunggu. Berjalan cepat tampa seseorang pun sadari, jalannya cepat begitu pula hal-hal yang terjadi meninggalkan bekas.

Selama waktu itu pula kondisi yang diharapkan membaik malah semakin memburuk. Dalam diamnya kini Ayudisha menatap lekat Fandy yang terlelap.

Hanya tidur bukan pergi, tapi bisakah esoknya akan tetap seperti itu? Bisa, jika memang Tuhan berkhendak menuliskan sesuatu yang berbeda, tapi bukankah umur sudah ditetapkan?

Dalam damainya mata itu tertutup, Ayu enggan melepas genggamannya. Menatap lekat pada wajah yang sampai sekarang tidak pernah ia sangka akan menjadi miliknya.

"Kamu segalanya untukku Fan, damai liat kamu kayak gini. Tapi, kalau suatu saat memang kamu milih buat istirahat dari hidup bantu aku untuk ikhlas ya."

"Aku tau rasanya sakit, kamu pasti capek. Tapi, kalau boleh jujur aku pengen egois, pengen kamu tetap ada beberapa tahun lagi. Atau sampai aku yang duluan pergi." Sambung Ayu, mengelus puncak kepala Fandy yang kini terus tertutup kupluk.

Itu karena rambut yang semakin menipis.

Air mata yang jatuh di pelupuk Ayu hanya ia biarkan, membiarkan tangis itu semakin menjadi dalam suasana kamar rawat yang meremang.

Kondisi kesehatan Fandy makin hari makin menurun, sel kankernya juga semakin menyebar. Hanya jantung yang masih dapat diselamatkan, kemo hanya memperpanjang bukan menyembuhkan.

Dan dalam waktu yang terus berjalan, Adika sempat memaksa agar Fandy mau menjalani transplantasi sel punca atau sumsum tulang belakang.

Namun, ia tetap menolak, dan akan terus menolak jika pendonornya adalah orang yang ia sayang.

"Kamu berarti saat pertama kali kita ketemu Fan, sampai kapanpun akan tetap seperti itu. Jika semesta memanggilmu aku bisa apa, berharap aku dipanggil sesudahnya." Lirih Ayu.

Hingga sesaat ingin beranjak dari sana, tangan dingin Fandy menghentikan. Menoleh ke arah Fandy yang masih mampu menunjukkan senyum khasnya tersebut Ayu kembali duduk.

"Kamu udah bangun? Gimana, tidurnya nyenyak ya?" tanya Ayu.

Fandy hanya mengangguk, lantas bangun untuk bersandar di sandaran brankar dibantu oleh Ayu.

"Kamu nangis ya?" tanyanya.

Mengusap pipi yang memang basah, Fandy adalah satu dari banyaknya laki-laki yang peka akan keadaan.

Sebelum Ayu menjawab, Fandy sudah lebih dulu berucap.

"Jalan-jalan yuk, aku mau keluar." Ujarnya.

"Mau ke mana, kamu harus banyak istirahat."

"Udah cukup kan baru bangun, ke taman rumah sakit ini aja. Tempatnya enak apalagi kalau sore kayak gini. Kita di sana sampai malam, liat senja, liat bintang, mau ya?" pinta Fandy.

Ayu yang menatap ke arah Fandy itu tampak bingung sendiri, tapi ketika senyum itu kembali tampak hendak menyakinkan dirinya Ayu langsung mengiyakan.

Meminta izin pada orang tua Fandy yang berjaga di depan serta Adika sebagai dokter yang merawat Fandy selama ini.

Mendorong kursi roda Fandy di area koridor untuk ke taman belakang, Fandy sama sekali tidak berhenti menebar senyum pada setiap orang yang membesuk keluarga mereka, pasien maupun anggota medis yang mengenalnya.

JAS DOKTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang