15. tiga bulan berlalu

129 21 4
                                    

Kala itu hujan rintik-rintik mengguyur kampus. Bak diberi formalin, hujannya masih belum berhenti bahkan sampai jam pulang.

Rajendra duduk bersisian dengan Ben dan Ajun di kursi yang tak jauh dari parkiran kampusnya.

Awalnya mereka hanya meneduh dari hujan, tapi malah keasikan main catur bersama pak satpam.

"Ah! Bapak curang! yang curang lubang idungnya dua pak!" seru Ajun tak terima. Pak satpam tertawa keras— kebetulan mereka memang sudah akrab.

"Lubang idung memang dua, nak. Kalau kalah terima aja lah. Nak Ben juga kalah dia santai aja. Kamu doang yang rusuh. Hahahahah."

Ajun merenggut. Sepuluh kali kalah gimana Ajun nggak curiga kalau pak satpam curang???

Maaf aja Jun, sebenernya elunya aja sih yang payah....

Sampai celetukan pak satpam sukses membuat Ajen yang tadinya bermain mobile legend bersama Ben jadi mendongak.

"Pulang neng Jani? nggak sama nak Ajen???"

Rinjani menghentikan langkahnya di tengah rintik hujan itu, berbalik lalu tersenyum ramah ke arah pak satpam.

"Lagi banyak tugas pak."

Maniknya menoleh lagi ke arah kumpulan anak kos. Rinjani tampak apik menjalankan perannya.

"Duluan ya, permisi." katanya tersenyum tanpa beban lalu melangkah lagi menjauhi area parkir dengan tangan menutupi kepala, menghalau rintik air walau sebagian sisian wajah cantiknya tetap terkena air hujan sejak perjalanan dari fakultas sampai ke gerbang kampusnya.

Ajun dan Ben saling pandang lalu berdehem kompak.

"Kamu tuh pacar macam apa nak? kok nggak diantar neng Janinya? kasian atuh kehujanan," ujar pak satpam. Ajen meneguk ludahnya kasar. Ben di sampingnya menepuk pelan bahu si pemuda lalu mengangguk meyakinkan pun dengan Ajun di sampingnya sama-sama setuju.

"Kapan lagi Jen? Mending sekarang daripada nggak sama sekali," kata Ajun seraya menyugar rambut hitamnya ke belakang.

"Bener. Anterin gih," timpal Ben.

"Gamenya... kita kalah Ben."

Ben berdecak, "cewek lo lebih penting dari game ya, anying."

Ajen terkekeh. Tubuh jangkung itu segera melesat keluar area kampus menyusul Rinjani dengan harapan di ujung bibir yang selama tiga bulan terakhir ini ia dambakan. Walau sebenarnya Ajen juga tak yakin harapan yang selama ini ia usahakan itu akan terjadi atau tidak sama sekali?

Sementara itu setelah kepergian Ajen. Arjuna masih tak bisa lepas dari keterkejutannya.

"Wow, nggak nyangka Benjamin bisa ngomong kasar????" Ajun menutup mulut penuh drama.

"Ck. Lebay lo. Biasa aja kali," balas Ben. "Join lah. Kita mabar." sambung Ben, Ajun tak banyak protes ikut bermain game.




























Rinjani berjongkok di bawah pohon rindang memunguti kertas yang tadi ia bawa susah payah. Sebagiannya sudah kotor karena air hujan, air matanya sudah tergenang. Rinjani bisa menangis kapan saja jika ia berkedip, tapi sebisa mungkin ia tahan.

Ada sesak lain yang menyelinap selain karena kertasnya yang berjatuhan.

Rajendra.

Pemuda itu sukses membuat sesak itu datang lagi hanya dengan melihatnya saja. Sekadang Rinjani malah merindukan sosok Ajen di hidupnya.

Rinjani butuh Rajendra....

Tapi, apa hubungan retak yang sudah tiga bulan tak ia sentuh itu bisa diperbaiki?

"Kalo mau nangis, nangis aja. Di depan kamu bukan orang asing kok," suara tak asing itu sontak membuat Rinjani mendongak.

Sudah...

Air matanya tak bisa Rinjani tahan lagi, pada akhirnya Rinjani menangis sembari memunguti kertas-kertas itu dengan Ajen yang juga ikut berjongkok membantu memungutinya juga.




















Keduanya saling berhadapan di depan rumah Rinjani. Tidak ada pembicaraan selain saling menatap, menyelami manik satu sama lain.

Bahkan mata Rinjani tetap cantik walau sembab sekalipun.

Ajen terkekeh tanpa alasan membuat Rinjani mengangkat alis bingung.

"Kenapa?" tanya Rinjani. Ajen menggeleng.

"Aneh ya? aku tiba-tiba datang bantuin kamu terus anter pulang... kayak kita belum udahan aja." kekeh Ajen.

Rinjani menahan napasnya sesaat. Hatinya terasa diremas begitu Ajen mengeluarkan kata 'selesai' dari bibirnya.

"Apa kabar Rin?" tanya Ajen pada akhirnya.

"Baik. Sendirinya gimana?"

"Kalo aku jawab nggak baik-baik aja gimana?" Ajen berujar pelan.

"Tiga bulan tanpa kamu gak bisa aku bilang baik-baik aja Rin..." sambung Ajen, kalimatnya terdengar sendu. Rinjani jadi merasa bersalah.

"Jen... maaf..."

Ajen memajukan tubuhnya. Melepas daun kering di rambut hitam Rinjani.i"Jangan minta maaf. Kamu nggak salah, aku yang salah karena gagal jaga hubungan kita supaya baik-baik aja." balas Ajen kini membuang daun kering itu ke tanah. Kini matanya memandangi Rinjani lurus.

Lidah Rinjani terasa kelu. Ini bukan salah Ajen ini salah dirinya yang terlalu cepat menyimpulkan sesuatu yang bahkan Rinjani tak tahu awal ceritanya bagaimana.

"Masuk gih, di luar dingin." kata Ajen final.

Rinjani mengangguk kaku, "Nggak mau masuk dulu?" tawar si gadis.

Ajen menggeleng, dalam hati Rinjani tertawa miris. Mana mungkin Ajen mampir ke rumah mantannya kan?

"Sekarang nggak dulu. Aku masih banyak kerjaan."

"Hm... oke... hati-hati pulangnya jangan ngebut," kata Rinjani. Ajen lagi-lagi terkekeh kalimat Rinjani itu tak pernah berubah jika dirinya hendak pulang.

"Aku nggak pernah ngebut."

"Yaa bagus... kalo gitu permisi." pamit Rinjani

Lagi-lagi Ajen terkekeh. Apa kali ini ia masih ada harapan???? Rajendra harap begitu. Semoga.

Dan begitu Rinjani sudah tak terlihat. Barulah Ajen menarik gas meninggalkan rumah Rinjani dengan senyum tipis di bibir.







a/n: helooo!

updatenya malem xixixixixi.

soft; rajendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang