"Jadi, hari ini mau apa? mau kemana?" tanya Rinjani memandangi Ajen di sampingnya.
"Pake dulu sabuk pengamannya." ujar Ajen.
Rinjani menurut, mengencangkan sabuk pengaman. Diam-diam Rinjani mengulum bibir menahan senyum karena Ajen tampak mempesona ketika menyetir kali ini.
Kebetulan Ajen membawa mobil kali ini, keduanya baru saja dari rumah orang tua Ajen. Karena sudah lama Rinjani tidak mengunjungi keluarga Ajen. Lokasinya yang jauh memaksa Ajen membawa mobil.
"Mas?"
"Hm??" balas Ajen tenang. Walau dalam hati Ajen grogi parah karena masih belum terbiasa dengan panggilan Mas itu.
"Aku seneng liat ibu senyum senyum sama kue yang aku bawa," ujar Rinjani tersenyum kecil. Ajen melirik kecil dengan sudut bibir terangkat.
"Kamu gatau aja, ibu tuh fans berat kue bundamu. Kakak juga suka banget sampe minta aku buat bawa lagi abis ini. Katanya sih buat stok hahaha." Kata Ajen panjang lebar seraya terkekeh.
Mobil melaju ke area TPU.
Rinjani melirik kecil Ajen. Ekspresinya masih tampak santai dan baik-baik saja. Rinjani harap Ajen selalu seperti itu.
Tidak lama mobil berhenti.
"Aku udah lama nggak ngunjungin ayah," katanya tenang. Ada perasaan hampa ketika Rinjani mendengar hal itu dari belah bibir Ajen.
Rinjani menepuk pelan tangan Ajen yang masih bertengger di kemudi. Mengusapnya kecil berharap usapannya itu menenangkan Ajen walau sedikit.
Keduanya keluar dari mobil. Berjalan beriringan menuju salah satu makam di TPU itu.
Ya, makam sang ayah.
Hari itu Rinjani bertekad akan selalu berada di sisi seorang Rajendra. Melihat Ajen yang kehilangan sosok figur ayah sejak kecil membuat hati Rinjani serasa diremas kuat, rasanya sakit.
Rinjani semakin yakin untuk memilih Ajen sebagai pelabuhan terakhirnya.
Rinjani harap, Ajen memang seseorang yang ditakdirkan untuk Rinjani. Semoga.
****
"Jen?"
"Ya, Rin?"
"Kamu, Okay?" tanya Rinjani khawatir. Ajen tersenyum, mengusap kepala Rinjani lembut sementara tangan lainnya mengatur kemudi.
"I'm okay, kamu nggak perlu khawatir."
"Ya tetep aja..... wajahmu murung begitu, aku khawatir. serius Jen."
Ajen berdehem, "hm, maaf ya? harusnya kita happy-happy hari ini."
"Aku malah jadi sedih gini..."
"Jen jangan ngomong gitu ah, ngobrolnya di kafe yuk? Gak safety kalau sambil nyetir begini." usul Rinjani yang disetujui Ajen.
Keduanya berada di kafe, pasangan muda-mudi itu memilih duduk di outdoor. Kebetulan konsep kafenya seperti itu, ada indoor dan outdoor.
"Kehilangan sosok ayah dari kecil bikin aku nyadar kalau aku harus lebih kuat dibanding kakak sama ibu, aku satu-satunya anak laki-laki di keluarga." Ajen menjeda kalimatnya.
"Hal itu bikin aku bertekad buat selalu lindungin mereka. Aku selama ini selalu mikir Rin, gimana kalau kakak nikah? nanti ibu sama siapa? terus kalau aku juga nikah, ibu sama siapa Rin?"
"Ayah udah nggak ada... hal itu membebani aku banget, aku takut nggak bisa lindungin ibu."
Rinjani menghembuskan napas, "Jen, ibu pasti nggak mau anak-anaknya terbebani kayak gini. Aku yakin ibu bakal ikhlas ngelepas anak-anaknya apalagi hal itu nyangkut masa depannya kayak nikah?"
"Jadi, selama kakak kamu masih belum nikah, begitupun kamu Jen. Masih banyak kok waktu buat ibu, senengin ibu, kamu nggak perlu khawatirin itu berlebihan Jen. Ada aku juga, aku bakal sering-sering kunjungin ibu sambil bawa kue. Banyak yang sayang ibu kamu Jen termasuk aku. Jadi nggak perlu khawatir ya?"
"Rin. Makasih ya, kamu selalu bisa bikin kegelisahan aku tuh berkurang." balas Ajen terpukau dengan kalimat-kalimat menenangkan itu.
"Iyaaaaa, kamu kalau mau ibu seneng kamunya juga harus seneng. Kan ada yang bilang tuh kebahagiaan anak kebahagiaan orang tua juga."
Ajen mengernyit, "siapa yang bilang?"
"Arjuna temen kosmu." balas Rinjani santai.
"Boleh juga tuh Ajun," kata Ajen, tiba-tiba merasa bangga pada teman kos tukang tidur itu.
Lantas keduanya tertawa renyah.
Beban Ajen sedikit meringan, ditambah melihat Rinjani tertawa lepas hari ini, rasanya Ajen seperti terbang di udara. Ringan, nyaman dan tenang.
"Oh iya Jen, temen kosmu dapat kue juga. Tadi ibu sengaja pisahin," Rinjani menyodorkan paperbag ke depan Ajen.
"Rin, kayaknya kalo terus gini ngerepotin ibu deh. Aku jadi gak enak..."
Rinjani menghembuskan napas, "kamu kan anak ibu juga, Jen."
"HAH?!"
Seruan Ajen membuat pengunjung melirik, ada yang sinis, ada yang terpesona karena ketampanan Ajen.
Detik berikutnya wajah Ajen memerah hebat. Dia malu sekaligus salah tingkah.
"Kok kamu kaget begitu sih? Kan emang kamu anak ibu juga."
"Rin udah Rin, aku nggak sanggup."
"Kamu nggak mau jadi menantu ibu Jen?"
"Rin, tolong udah. Jantung aku nggak kuat dan telinga aku nggak kuat buat denger kalimat selanjutnya," sahut Ajen lebay.
Rinjani tertawa, "apasih kamu tuh??"
Rinjani tersenyum kecil, ide jahil terlintas begitu saja dibenaknya. Melihat Ajen tampak lemas di kursi karena salah tingkah membuat Rinjani ketagihan untuk menggoda Ajen terus menerus.
Lagipula siapa suruh gampang salah tingkah.
"Kamu lucu deh Mas."
Seperti dugaan Ajen refleks terduduk di tanah dengan wajah memerah. Hal itu kembali mengundang lirikan pengunjung kafe.
a/n: yujimori karam bjir....
halo halooo apa kabar semua?? semoga sehat yaaaa! makasih udah mampir dan selalu nunggu hehehehe <3 🥺🙌
KAMU SEDANG MEMBACA
soft; rajendra
Novela Juvenil"Please ya, tahi lalat kalian juga sama posisinya. fiks sih kalian jodoh!" short, local @chamiverse, 2022