21. C

55 9 2
                                    

Rajendra menghembuskan napas lega, skripsinya sudah dosen acc. Minggu depan mulai sidang dan jika semuanya lancar— Ajen harap sih berjalan lancar ya, maka bulan depan ia bisa wisuda.

Ajen tersenyum hingga maniknya menyipit begitu saling pandang dengan Rinjani, gadis itu menunggunya di depan ruangan. Rinjani beranjak dari duduknya, memandangi Ajen harap-harap cemas.

"Alhamdulillah Jan," ujar pemuda itu diiringi senyum kecilnya. Rinjani bernapas lega.

"Aku khawatir skripsimu nggak di acc lagi," Rinjani berujar dengan alis menukik sedih.

"Acc dong, kan dibantu kamu juga hahahah." Ajen tertawa renyah dengan tangan mengusak gemas rambut Rinjani. Gadis itu tak bereaksi apapun selain memandangi Rajendra dengan mata memerah hampir menangis.

"Eh?" Ajen panik. Namanya juga Rinjani, sering terharu dengan hal-hal kecil. Selain terharu, di sisi lain Rinjani merasa bangga dengan Ajen bisa menyelesaikan skripsinya yang Jani tahu tak mudah itu, Ajen sering bergadang, bahkan seminggu kemarin suara Ajen sampai parau karena terlalu sering bergadang.

Jani kan jadi ingin menangis kalau melihat perjuangan Ajen.

Ajen menarik Rinjani mendekat, pemuda itu segera memeluk Rinjani erat mengusap kepalanya dengan sayang.

"Kita cari tempat lain ya?" ujarnya bertanya dengan lembut, Rinjani hanya menggangguk saja menurut.










Keduanya duduk di bangku taman kampus dengan berbagai makan ringan di meja yang tadi sempat Ajen beli.

"Minggu depan kamu juga sidang kan? Mau dibawain apa?" tanya Ajen dengan senyum khasnya.

"Kamu aja udah cukup," balas Rinjani dengan jemari yang tiba-tiba menyentuh pipi Ajen lembut. Ajen mematung dibuatnya, pemuda itu sampai salah tingkah di tempat.

"Kamu ngegombal ceritanya, hm????" Ajen bertanya, jemari Ajen juga ikut terulur menangkup kedua pipi Rinjani agar menoleh penuh ke arahnya.

"Aku serius Jen, nggak mau apa-apa lagi." Rinjani berkata seraya tersenyum kecil, kedua tangannya ikut memegangi tangan besar Ajen di pipinya.

Gemas....... 😔

Tangkupan tangan di pipi gadis itu Ajen lepaskan.

"Bener nih? Aku aja cukup?" tanya Ajen lagi memastikan.

"Benerrrrrr," sahut Rinjani.

"Kalo ke kafe kucing mau nggak?"

"IH MAUUU!" Rinjani berujar semangat.

"Yaudah, yuk." ajak Rajendra. Tapi sebelum itu Ajen mengulurkan tangannya, tentu saja Rinjani menyambutnya dengan senang hati. Keduanya berpegangan tangan sampai ke parkiran.

Sementara di sisi lain dua manusia yang melihat itu tampak menghembuskan napasnya bersamaan.

"Sederhana tapi Jidan gak bisa," komentar Benjamin santai.

Jidan menggigit lidahnya hampir mengumpat, "MAKSUD LOOOO?!!" teriaknya sebal. Benjamin tak menjawab, ia memilih pergi meninggalkan Jidan yang sedang mencabuti dedaunan merasa gondok.

***

"Kucing abu lucu bangetttttt!"

"Jen, katanya yang putih bloon, emang iya?"

"Ya ampun gemes banget kamu meng, ibunya kemana?"

Celotehan Rinjani hanya dibalas kekehan oleh Ajen, pemuda itu mengeluarkan hp— segera memotret diam-diam Rinjani yang tengah bermain dengan kucing itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

soft; rajendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang