06

161 22 0
                                    

Dahi Joong mengerut membaca deretan pesan yang menyusul bermunculan. Perasaan berkecamuk karena hal yang ia lihat membuatnya geram sampai nggak sadar menggenggam ponsel Ran terlalu kuat.

Benda pipih itu langsung direbut dari tangannya. Kepalannya semakin menguat.

"Kamu ngapain?" katanya mendelik Joong tak suka dan langsung memeriksa ponselnya.

Ia menggeser pesan-pesan itu, menghiraukannya seolah itu bukan masalah besar. Ran lalu duduk dengan cepat, menyimpan ponselnya diatas meja dan beralih mengambil sumpit untuk makan.

"Lo udah punya pacar, Ran?" Rania nggak peduli dan merasa nggak perlu menjawabnya. Joong menunjuk ponsel itu dengan dagunya. "Cowok lo nyariin."

"Dia bukan cowok gue, jangan sok tau."

Joong tertawa sarkas. "Oke, gue nggak peduli dia siapanya lo, gue sama sekali nggak ada urusan. Tapi gue udah pernah bilang berkali-kali sama lo," tunjuknya. Suaranya memelan dan Joong menekan kata-kata itu hingga hanya dipastikan nggak akan ada orang lain yang bisa mendengarnya, "kalau kita sama-sama menganggap perjodohan ini cuma sebagai formalitas, lo tinggal bilang. Udah cukup, gampang, semua selesai. Lo dan cowok lo bisa bahagia, begitu pun dengan gue."

Rania membanting sumpitnya hingga terdengar dentingan piring yang cukup keras. "Ya terus kenapa, sih?! Apa yang lo lihat dari hape gue barusan?"

"Dia protes atas sesuatu, Ran."

Cewek itu mengambil ponselnya lagi, menunjukkannya ke depan wajah Joong. "Ini? Lo mau tau Evan itu siapa? Iya, dia emang pacar gue. Terus lo mau apa?"

Joong refleks nurunin tangan Ran sampai ponselnya terlempar, ia menarik lengan cewek itu agar mendekat dengannya. "Mikir, Ran. Apa yang lo bilang barusan bisa ngerusak duit bokap lo."

Ran menggeleng tidak mengerti dengan apa yang terjadi. "Minggir, gue mau pulang!"

"Gue anter."

"Gak perlu. Gue bisa sendiri."

"Lebih baik lo cepet selesain masalah lo sama cowok itu," gumamnya.

Joong mengedikkan bahunya nggak peduli, bahkan nggak berusaha ngejar Ran yang pergi dengan tergesa-gesa. Ia lebih memilih buat menghubungi seseorang untuk meralat sesuatu.

"Berapa hari lagi sampai acaranya di adain?" Joong mengangguk mengerti. Senyum miring tercetak di wajahnya. "Nothing, bilang sama papa gue bakal dateng." Lalu sambungan terputus tanpa menunggu jawaban dari seberang sana.

••••••••

Senandika Haru Dwiputra, nama itu jelas terukir pada tag nama yang ada di seragam kerjanya. Meski terbilang baru, ia cukup dikenal sebagai orang yang rajin dan cekatan dalam bekerja. Manajer dan para pelanggan yang datang juga sering memujinya. Seperti hari ini, beruntung ia bisa mengatasi kesalahpahaman antara dua pengunjung yang sudah melakukan reservasi sejak seminggu yang lalu.

Kesalahan pemesananan nomor reservasi di tanggal yang sama sebenarnya bukan salah dari pegawai biasa seperti Haru, akan tetapi di bagian pencatatan dan customer service mereka yang kurang teliti.

"Kerja bagus, Haru, saya merasa benar-benar beruntung menemukan pegawai seperti kamu. Terima kasih banyak."

Haru membungkuk sedikit karena tepukan pelan di bahunya."

"Terima kasih banyak, pak. Itu karena teman-teman yang lain juga ikut membantu agar masalahnya bisa terselesaikan dengan baik."

Manajernya turut tersenyum. "Yasudah, kalau begitu saya tinggal, ya."

SOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang