03

256 30 5
                                    

"Lo.. mau jadi pacar gue nggak?"

"HAH?!"

Haru sampai mengangkat sebelah alisnya. Joong bisa merasakan kekhawatiran di mata Haru yang pasti mengira jika Joong adalah orang jahat yang tidak bisa dipercaya dengan semua kejanggalan yang ia lakukan. Tiba-tiba ngajak kenalan lalu menyatakan perasaan di tempat, apa yang seperti itu tidak patut dicurigai?

"Maaf.. gimana?!"

Joong menghela nafasnya pasrah. Tapi tak lama ekspresi Haru berubah sedikit lebih santai.

"Ah, gue ngerti. Lo lagi main truth or dare sama temen-temen lo ya?" Haru ikut melirik ke arah teman-teman Joong. Lalu sedikit mengeraskan suaranya. "IYA, GUE MAU."

what in the hell just happened?

Satya bukanlah satu-satunya orang yang memundurkan kepalanya sambil berusaha menutup bibirnya yang membulat sempurna. Mereka semua syok. Fakta bahwa Haru dengan mudahnya menerima tawaran Joong lebih mengejutkan daripada seorang Jevanuel Tristan Joong yang kini bukan seorang jomblowan lagi.

"Serius?!" tanya Joong.

"Iya, serius."

Demi kerang ajaib dan selai nanas, Joong tidak menyangka semuanya akan semudah ini. Akan tetapi.. apa katanya tadi? Truth or dare? Tapi ini bukan truth or dare, melainkan say the truth.

"Sudah kan?"

Joong mengangguk. "Makasih, Haru."

Tapi kasih tau jangan? Kasih tahu aja deh. Eh, jangan. Nanti aja, gimana?

Di kanan dan kirinya, setan bertanduk dan malaikat bersayap sedang berdebat sengit hingga membuat Joong pusing sendiri.

"Oke nggak usah, nanti aja."

"Maksudnya?"

Tuh, kan keceplosan. "Eh, enggak-nggak." Hampir aja. "Gue boleh minta kontak lo sekalian? Mungkin kita bisa ketemu lagi di lain waktu."

"Boleh," balasnya.

Dan begitulah mereka tukeran id line dan instagram. Dalam hatinya, Joong terus meminta maaf. Ia janji hanya butuh beberapa hari saja, lalu ia akan menjelaskan semuanya.

"Sekali lagi, makasih ya."

"Iya, santai aja," jawab Haru.

Haru, kalo lo tau yang sebenernya Joong yakin lo pasti gak bisa sesantai ini.

Sepanjang selesai kejadian nembak-diterima itu, Wikra terus saja mendesak Joong untuk cerita. Padahal urat malunya masih ketinggalan di meja Haru. Degup jantungnya saja belum kembali normal, yang ada Joong cuma bisa sabar dengan kelakuan mereka.

"Waaaaah anjeng, Joong gimana rasanyaaa?" Ini Joong yang baru jadian tapi Wikra yang jingkrak-jingkrak kesenengan.

"Gue hampir mau mati, bangsat."

"Ya tapi kan nggak jomblo lagi."

"Hiyaaaa."

Wikra mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan jepretan buram kedua orang yang baru saja resmi pacaran—walaupun pihak satunya nggak nyadar kalau ini betulan.

"Eh, hapus gak?!" Joong hendak meraihnya, namun si pemilik ponsel dengan cekatan menjauhkannya dari Joong.

"Eits buat dokumentasi. Lo nggak tau sih, gue di samping Satya nggak berhenti komat-kamit baca doa. Harusnya lo berterima kasih sama kita. Terutama Satya noh, bangga bener dia waktu liat lo diterima tadi."

Satya menepuk dadanya jantan. "Lo harus banyak belajar dari ahlinya."

"Cih, nggak ada ya." Padahal Joong juga seneng bukan main.

••••••••

"Nah, nah, tuhkan! Lo senyum-senyum anjir, menggelikan."

Suara keras nan cempreng Wikra membuyarkan lamunan Joong. Sambil menunjuk ekspresi speechless yang tertangkap basah mesam-mesem sendiri.

"Hayoloh, mikir apaa?"

"Kalian nih pada kenapa sih? Heran, baru liat orang ganteng senyum, hah?"

"Ya elu yang kenapa."

Yunan sudah membawa tas di pundaknya menghampiri mereka. "Kesambet kali dia."

"Aura orang kasmaran mah emang beda," kata Satya. "Yo ah, Wi. Kita balik." Satya lantas mengepalkan tangannya untuk berjabat tangan ala new normal. Selain karena menjaga kebersihan tangan, salaman kayak begitu juga terasa keren.

Wikra bangkit dari duduknya. Merangkul bahu Satya dan Cio bersamaan. "Ayo. Bye, gue mau malam mingguan dulu sama ayang."

Yang dimaksud ayang itu siapa? Ya Satya pastinya. Emang mereka ini sejak lahir ditakdirkan jadi magnet yang saling tarik menarik. Kalo kata Satya sih, Wikra dan dirinya itu bagaikan sepasang sepatu—selalu bersama tapi tak bersatu.

"Yeu, tobat lu mending duit tuh ditabung, bukan buat mabok."

"Ya terserah gue, gue punya ayang," pamernya. "Ayang lo mana?"

"Lagi dikemas, nanti dikirim kalo gratis ongkir."

"Ck ck ck, stress efek gapunya ayang."

Setelah itu, Wikra pulang dibonceng Satya. Sudah bisa ditebak mereka akan pergi kemana. Cio pamit duluan sambil naik motor pribadinya, disusul Yunan yang juga langsung pulang ke rumah.

Tinggalah Joong sendirian di studio tiga lantai itu. Sebenarnya studio ini tidak sepenuhnya dipakai sebagai tempat latihan saja, melainkan dua lantai di bagian bawah itu selalu dipakai untuk les privat bahasa Inggris yang diadakan setiap dua minggu sekali dan lantai paling bawah adalah tempat parkir motor.

Tempat ini dulunya milik paman Joong yang membuka usaha toserba. Sayangnya beberapa tahun lalu paman berhenti meneruskan usahanya dikarenakan modal yang tak lagi mencukupi, dan juga harga sewanya semakin naik. Namun sebelum pamannya benar-benar melepas tempat ini, Joong berinisiatif untuk meneruskan kontrak sewanya dengan uang yang ia dapat dari hasil mengajar privat anak-anak dan sebagian dari honor manggung soul. Beruntung ia masih bisa menyisihkan beberapa diantaranya untuk keperluan lain.

Joong baru hendak pulang dan meraih jaketnya, kebiasaanya kalau sedang tidak ada janji atau apapun ia selalu pulang terakhir. Entahlah, Joong hanya merasa perlu melakukannya. Joong meregangkan tangannya keatas dan kesamping. Bunyi-bunyi persendian di tubuhnya sudah layaknya sinyal tanda seberapa lelahnya ia hari ini.

Joong menatap ruangan ini, ke arah alat musik mereka. Hidupnya ada disana.

"Kerja bagus. Lo laluin hari ini dengan baik, Joong," pujinya pada diri sendiri.

SOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang