07

180 21 0
                                    

Joong menghabiskan makanannya dengan cepat, meja makan malam mereka hening sekali. Bahkan tak ada denting sendok dan garpu yang terdengar. Mama dan papa selalu menganggap meja makan bukanlah tempat untuk bicara. Padahal ia sangat ingin bisa bercerita tentang 'bagaimana hari ini?' 'Apakah semuanya berjalan dengan baik?' 'Gimana sekolahmu? Band-mu?'

Anak tunggal di keluarga itu tersenyum miris. Ia hanya mampu membuat skenario itu di kepalanya saja. Disaat orang lain bisa dengan santai menceritakan apapun pada orangtuanya, menjadikan meja makan sebagai tempat kembali setelah berpisah seharian karena kesibukan masing-masing, Joong hanya akan mendapat teguran dari mereka jika melakukannya. Kedua orang tuanya nggak peduli dengan apapun yang Joong rasakan.

Papa terlihat selesai lebih dulu. Pria itu beranjak pergi meninggalkan Joong dan mama.

Joong masih sangat ragu untuk melakukan ini, tapi ia rasa ia bisa. Telapak tangan Joong sudah sangat dingin dan ia siap menerima konsekuensi apapun itu.

"Pa, ma," panggilnya mendapat atensi dari keduanya. Ia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan. "Joong nggak mau menikahi Ran."

Dia mencuri-curi bagaimana reaksi keduanya meski Joong hanya menunduk menatap piringnya.

"Jevan," panggil papanya. Terdengar helaan nafas dari pria itu.

Ia selalu merinding ketika nama depannya disebut seperti itu.

"E-Enggak, pa. Joong punya alasan, kalian dengar aku dulu."

"Sudah, Joong, kalau alasanmu cuma karena mau menentukan hidupmu sendiri, ngeband dengan teman-temanmu yang nggak jelas itu, kamu kekanak-kanakan sekali."

Itu lagi, itu lagi.

"Rania udah punya cowok, pa. Joong nggak bisa," ucapnya.

"Lalu?"

"Papa udah tau?" Joong menatap mama yang juga tidak bereaksi seterkejut bayangannya. "Itu berarti dia nggak tulus sama aku, pa. Aku lihat sendiri dia sudah punya pacar dan hubungan mereka kayaknya udah berlangsung lama," jelasnya. "Aku nggak bisa."

"Nggak akan ada yang percaya dengan omonganmu sekalipun itu adalah benar. Rania nggak seperti itu."

Mama beranjak setelah selesai dan merapikan piring-piring itu di meja makan, memberikannya pada kepala pelayan lalu dibawanya ke dapur.

"Ma, aku mau nikah sama pilihanku sendiri—"

Mama hanya menatap Joong seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan karena keberadaan papa.

"Pernikahan kamu bukan hanya tentang kamu aja, papa menginvestasikan banyak hal di perjodohan ini. Kalau kamu merasa kamu berhutang budi pada kami karena telah membesarkanmu, kamu harus mengerti."

"Pa! Kenapa semua hal yang ada di pikiran papa itu cuma uang?!" Joong menahan rasa nyeri ketika ia menarik nafas. "Kenapa aku setidak penting itu dibandingkan uang?!"

"CUKUP, JOONG."

"Papa sedih karena uang, papa tersenyum karena uang, dan papa cuma peduli sama uang uang dan uang!"

Papa menghampiri Joong dan melayangkan tamparan keras padanya.

"Pa!"

Mama menghalangi Joong dari suaminya.

"Sudah cukup, tidak perlu begitu," ucap mama dengan suara bergetar.

"Nggak apa-apa, ma. Mungkin papa belum sadar kalau dia menampar uangnya."

Joong beranjak dari duduknya, menatap papa yang nyalang dari balik pundak mama.

"Aku udah punya pacar, dan aku udah janji sama dia untuk menikahinya. Aku nggak peduli dengan tanggapan kalian, restu kalian, atau apapun itu."

SOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang